Sekarang Juga Berdo’alah

Saudaraku,
Apa yang kita pinta dari Allah swt? Allah itu dekat. Sangat dekat. “Jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka sesungguhnya Aku sdekat. Aku menjawab permintaan orang yang meminta jika ia meminta kepada-Ku…” (QS. Al Baqarah:186). Maka pintalah kepada Allah, karena Dia dekat dan pasti mengabulkan permintaan siapa pun yang meminta kepada-Nya.

Ada tiga masalah penting yang dapat kita garis bawahi dari firman Allah itu. Pertama, Allah menisbatkan diri-Nya kepada kita selaku hamba-Nya, dalam kata ‘ibaadii’ yang artinya hamba-hamba-Ku. Penyandaran nama Allah pada kita selaku hamba Allah merupakan tanda kedekatan Allah kepada kita. Tanda bahwa Allah begitu sayang dan sangat memperhatikan kita.

Kedua, Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Aku dekat…” Jawaban itu tanpa perantara. Allah swt seperti menghapus kalimat ‘qul lahum´ (katakanlah kepada mereka) yang lazimnya ada setelah kalimat ‘wa idza saalaka ibaadii annii’ (jika salah seorang hamba-Ku bertanya tentang Aku). Allah segera menjawab langsung dengan ‘fa ‘innii qariib’ (sesungguhnya Aku dekat). Ungkapan seperti ini menandakan bahwa pintu Allah swt selalu terbuka. Allah swt memang dekat bagi siapa saja yang menyeru-Nya. Allah swt Maha Pemaaf terhadap hamba-Nya yang bertaubat kepada-Nya.

Ketiga, Allah swt segera menyatakan, ‘ujiibu da’wata daa’ii idza da’aanii’ (Aku mengabulkan permohonan jika ia memohon kepada-Ku). Firman Allah swt ini langsung ditegaskan setelah ‘fa ‘innii (sesungguhnya Aku dekat). Artinya, Allah swt tidak memerlukan lagi kalimat ‘Aku mendengarkan pinta mereka’, tapi tanpa jarak langsung mengutarakan ‘Aku mengbulkan permohonan jika ia memohon kepada-Ku.’ Itu sebabnya, Sayyid Quthb rahimahullah menyebut ayat ini dengan kalimat ‘aayah ajiibah’ (firman Allah yang menakjubkan). “Ayat ini menanamkan dalam hati orang beriman, sebuah panggilan yang menyejukkan, penuh kasih sayang dan kedekatan, keridhaan yang menenagkan, kepercayaan penuh, keyakinan yang tinggi…,” tulis Sayyid Quthb dalam kitab Fii Dzilal Al Qur’an.

Saudaraku,
Allah itu dekat. Allah swt lebih dekat dari sekadar orang tua, suami, isteri, saudara, apalagi teman dan sahabat. Bahkan tidak ada yang lebih dekat kepada diri kita kecuali Allah. Maka optimislah dengan do’a-do’a yang kita penjatkan kepada Allah swt. Karena Allah bisa mengabulkan do’a para nabi, para rasul, para wali-Nya, musuh-musuh-Nya, bahkan iblis sekalipun. Iblis, makhluk Allah yang paling dimurkai, dikabulkan permintaannya kepada Allah swt saat ia meminta penangguhan masa hidupnya hingga hari kebangkitan, untuk menggoda dan menjerumuskan Bani Adam. Tapi pengabulan pinta itu, tidak menyebabkan kedekatan Allah kepada iblis. Yang ada, justru penjauhan dan penambahan kemurkaan kepada iblis.

Siapapun yang meminta kepada Allah swt pasti dikabulkan dengan cara yang Allah kehendaki. Pasti. “Berdo’alah kepada Allah, sedangkan kalian yakin bahwa do’a itu pasti akan dikabulkan. Ketahuilah bahwa Allah tidak menyambut do’a dari hati orang yang lalai,” demikian pesan Rasul saw dalam hadits shahih.

Saudaraku,
Pengabulan do’a, bukan semata karena kemuliaan orang yang meminta. Allah akan mengabulkan permintaan seorang hamba untuk memenuhi hajatnya, namun belum tentu pengabulan itu berarti Allah swt ridha dan mendekatkan si pendo’a menjadi lebih tunduk dan dekat kepada-Nya. Boleh jadi, pengabulan do’a itu justru menambah jarak antara dirinya dengan Allah swt.

Sementara di kempatan lain, Allah menahan pengabulan do’a seseorang bukan karena Dia tidak ridha dan benci, tapi bisa saja karena kecintaan dan kemuliaan si peminta. Sehingga Allah melindungi, memelihara dan menahan permintaan yang bisa menjerumuskannya pada jurang ketidakridahaan-Nya. Sebagian orang ada yang menyangka Allah tidak kunjung mengabulkan do’a karena Allah tidak mencintai, tidak memuliakan, membiarkan mereka, karena ada orang lain yang dikabulkan do’anya oleh Allah.

Saudaraku,
Berhati-hatilah dari permintaan kepada Allah swt tentang sesuatu yang kita tentukan, tapi tanpa kita mengetahui apa akibatnya, bila pinta itu dikabulkan oleh Allah. Syaikh Khalid Ar Rasyid mengatakan, “Jika kita harus meminta sesuatu yang tertentu, mintalah kepada Allah dengan tetap menggantungkan pinta itu dengan kata-kata ‘kebaikan menurut Allah swt’,” Maksudnya, bukan hanya ‘kebaikan versi kita’. Karena kebaikan versi kita, belum tentu kebaikan menurut Allah. Ada permintaan yang dalam anggapan kita baik, tapi kita tidak pernah tahu hakikatnya jika pinta itu dikabulkan. Hanya Allah swt saja yang Maha Mengetahui yang baik.

Saudaraku,
Mari perhatikan nasihat Ibnu Atha tentang rahasia do’a yang baik untuk kita tunaikan. Ia mengatakan, “Do’a itu mempunyai tiang, sayap, sebab dan waktu. Jika tiangnya dibangun, do’a menjadi kokoh. Jika sayapnya tumbuh, do’a akan bisa naik ke atas langit. Jika waktunya terpenuhi, do’a itu akan menang. Jika sebab-sebanya dilaksanakan, do’a itu akan berhasil dikabulkan. Tiang-tiang do’a itu adalah konsentrasi hati, kelembutan, ketenangan, khuyuk di hadapan Yang Maha Mengetahui yang ghaib. Sayap do’a itu, tulus dan jujur kepada Allah. Waktu do’a itu adalah waktu sahur. Sebab dikabulkannya do’a itu adalah shalawat kepada Rasulullah saw.”

Tunggu apa lagi saudaraku,
Sekarang juga, banyaklah berdo’a dan jangan bosan. Rasulullah saw mengatakan, “Sungguh orang yang paling lemah adalah yang lemah dalam berdo’a.” (Shahih Ibnu Hibban)

Sungguh luar biasa kasih sayang dan dekatnya Allah swt kepada kita....

Sampai Kapan Menunda Taubat?

Dengarlah saudaraku,
Allah swt telah memanggil kita: “Wahai hamba-Ku yang melampaui batas atas diri mereka, jangan putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang...’ Rasakanlah dalam-dalam bagaimana nuansa kasih dan sayang Allah swt dalam firman-Nya tersebut...

Lalu,
Mengapa kita tidak juga mau segera kembali kepada Allah swt? Padahal Rasulullah saw telah mengabari kita betapa kegembiraan Allah swt menerima taubat hamba-Nya. “Allah lebih senang dengan taubat hambaNya dari pada orang yang kehilangan hewan yang dikendarainya saat berada di tanah yang tandus. Orang itu mencari kendaraan hewannya padahal di sanalah makanan dan minumannya. Hingga ia putus asa mencarinya dan berbaring di bawah pohon. Namun tiba-tiba hewan kendaraannya telah berada di sisinya. Ia lalu mengambil tali kekang hewannya dan mengatakan, “Ya Allah,Engkau hambaku dan aku tuhanmu,” orang itu keliru mengatakannya karena terlalu gembira.” (HR.Muslim ) Lihatlah kegembiraan dan kesenangan Allah swt menerima kita...Jika kita bertaubat..

Saudaraku,
Seperti itulah ungkapan Al Qur ’an, hadits yang menyeru kita untuk bertaubat dan kembali kepada Allah swt.Sampai kapan kita menunda dan mengakhirkan taubat? Padahal kematian selalu datang tiba-tiba dan ketika itu tak ada lagi kesempatan untuk menabung amal shalih dan membersihkan diri. Mungkinkah kita menunggu kematian itu? Apa yang kita tunggu, Jika kita tahu bahwa rahmat Allah swt melampaui dosa yang pernah dilakukan oleh orang yang membunuh seratus jiwa. Jika rahmat Allah lebih luas dan tinggi dari dosa seorang pelacur lalu memberi minum seekor anjing karena Allah. Apakah rahmat Allah swt tidak bisa menerima dosa-dosa yang kita lakukan, padahal Dia adalah Rabb Yang telah menyatakan Dirinya dengan sifat Maha Pengampun, Maha Pemaaf, Maha Penerima Taubat. Jika kita telah mengetahui fakta ampunan yang Allah swt berikan untuk mereka, apakah rahmat Allah menjadi sempit mengampuni dosa-dosa kita? Padahal Allah swt dalam hadits qudsi berfirman, “Jika kalian tidak melakukan dosa, niscaya Allah akan mendatangkan kaum selain kalian, lalu kalian berdosa dan memohon ampun kepada Allah, kemudian Allah swt memberi ampunan kepada mereka.” Perhatikanlah juga bagaimana keluasan rahmat Allah swt dalam hadits qudsi yang lain, “Wahai ibnu Adam,jika dosamu mencapai ketinggian langit kemudian engkau datang
kepada-Ku dengan tidak menyekutukan-Ku, Aku ampuni engkau seberapa banyakpun dosamu dan Aku tidak peduli. Wahai Ibnu Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, niscaya Aku datangi engkau dengan sepenuh bumi ampunan. Wahai Ibnu Adam, jika engkau menyeru dan meminta-Ku,Aku ampuni kesalahanmu dan Aku tidak peduli.”(HR.Tur udzi)

Saudaraku,
Jika kita menganggap Allah swt adalah kekasih kita, ketahuilah bahwa Dia menunggu kedatangan kita hari-hari ini, di bulan ini. Allah swt menanti kita datang dan bersimpuh ke hadapan-Nya. Mari dengarkanlah apa yang difirmankan-Nya, “Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta. Jika hamba-Ku mendekat kepadaku satu hasta, Aku akan mendekat kepada-Nya satu depa. Jika hamba-Ku mendatangiku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari. (HR.Bukhari) Perhatikanlah lagi dengan seksama dan mendalam saudaraku. Betapa kasih sayangnya Allah swt kepada kita...

Saudaraku,
Bahkan, barangkali kita tidak mengetahui keluasan ampunan Allah swt mencakup dosa yang dilakukan berulang-ulang. Dengarlah bagaimana firman Allah swt dalam hadits qudsi. “Seorang hamba melakukan dosa dan mengatakan, “Ya Tuhan aku telah berdosa, ampunilah aku.. ”Maka Allah swt berfirman, “Hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Rabb Yang mengampunkan dosa dan menghitung dosanya. Aku bersaksi pada kalian (para Malaikat) bahwa Aku telah mengampuninya.” Tapi kemudian hamba itu melakukan dosa kembali dan mengatakan seperti yang dikatakannya semula. Maka Allah swt menjawabnya dengan jawaban yang sama. Hingga keempat kali kondisi itu berulang, Allah swt berfirman, “Tulislah oleh kalian (para Malaikat), bagi hamba-Ku ampunan yang tidak pernah hapus. Maka biarkanlah hamba-Ku melakukan apa yang ia inginkan.” (HR.Bukhari)

Jangan terkejut dulu saudaraku. Karena hadits ini pasti ini bukan sama sekali menganjurkan kita berulang melakukan dosa dan kemaksiatan. Bukan sama sekali meremehkan kadar dosa dan maksiat kepada Allah swt. Tapi hadits ini lebih menerangkan masalah hati yang selalu gelisah atas dosa dan selalu kembali bertaubat atas penyimpangannya. Sedangkan orang yang hatinya tidak tenang dengan dosa dan selalu bertaubat, tidak akan melakukan dosa berulang-ulang. Itulah esensi makna yang dikandung dalam hadits tersebut.

Saudaraku,
Hari-hari ini, adalah hari-hari sangat istimewa. Saat pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup. Ketika rahmat Allah swt tercurah luar biasa kepada hamba-hamba-Nya di bulan ini. Bulan yang nilainya tak mungkin terbayar dengan seluruh usia kita di dunia. Mari sama-sama taubat saudaraku. Tengadahkan tangan kita di malam ini. Ketuk pintu rahmat-Nya dan pinta ampunan-Nya. Bayangkanlah, Allah swt begitu bergembira menerima kehadiran kita....

Kunci Sukses

IKHLAS
Dinukil dari Kitab Tazkiyatun Nafus/Imam al-Ghazaliy
Terjemah Oleh Ahmad Jumradhian, S.S.I

Ikhlas memiliki beberapa definisi, diantaranya adalah :
1.Mengkhususkan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam setiap amal perbuatan
2.Menjadikan Allah SWT satu – satunya tujuan ketika beribadah
3.Mengacuhkan pandangan makhluk lain dengan senantiasa menglihat Allah SWT
Berbuat ikhlas adalah syarat diterimanya perbuatan shalih yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, dan Allah SWT telah memerintahkan kita untuk berbuat dengan ikhlas, Allah SWT berfirman :
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus".
Dan di riwayatkan oleh Abi Amamah RA berkata : “Telah datang seorang pemuda kepada Rasulullah SAW kemudian berkata : apa pendapat anda tentang seorang pemuda yang pergi berperang agar mendapatkan imbalan ( ghanimah ) dan di sebut kedermawanannya?, maka Rasulullah SAW berkata : tidaklah ia mendapatkan sesuatupun (Pahala), maka pemuda itu mengulanginya hingga tiga kali dan Rasulullah SAW berkata :tidaklah ia mendapatkan sesuatupun, kemudian berkata : “Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima amal seseorang kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan niat mengharap keridhoan Allah SWT”. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan an-Nasai dengan sanad yang baik.
Dan diriwayatkan oleh Abi Said al-Khudriy RA dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda ketika melaksanakan haji wada’ : “ Allah SWT menjadikan baik seseorang mendengarkan perkataanku maka perhatikanlah, maka kerap kali orang yang membawa fiqih namun bukanlah seorang yang faqih, 3 hal yang menjaga hati orang beriman dari sifat "الغلّ" (Dendam/Permusuhan) yaitu: Ikhlas beramal karena Allah SWT, Mendengarkan nasihat dari Imam-imam orang muslimin, dan konsisten melaksanakan sholat berjama’ah”
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan sanad yang baik dan Ibnu Hibban menshahihkan hadist tersebut.
Maknanya tiga hal tersebut diatas dapat memperbaiki hati, maka barang siapa berakhlak dengan ketiga sifat tersebut akan bersih hatinya dari sifat khianat dan dendam dan buruk.
Dan tidaklah seseorang terlepas dari jeratan syaitan kecuali dengan bersifat ikhlas, sebagaimana firman Allah SWT:
"kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka".
Dan diriwayatkan bahwa salah seorang hamba shalih pernah berkata kepada dirinya: “Wahai jiwa berbuat ikhlaslah, maka kamu akan terlepas”
Dan setiap kesenangan dari kesenangan-kesenangan dunia itu mengistirahatkan jiwa dan mencondongkan hati baik sedikit maupun banyak, dan ketika diejawantahkan dalam perbuatan ia akan memperkeruh kejernihannya dan hilang keikhlasannya, dan manusia akan terikat dalam kesenangan tersebut dan tenggelam dalam syahwat, sedikit sekali dari manusia yang perbuatannya dan ibadahnya terbebas dari kesenangan-kesenangan dan tujuan yang terburu-buru. Maka dari itu ada yang bilang barang siapa pernah sekali saja dalam hidupnya berbuat ikhlas karena mengharapkan Allah SWT maka ia sukses, dan itu karena sebab kemuliaan berbuat ikhlas. Dan sulitnya menjaga hati dari kotoran-kotoran mengganggu. Maka Ikhlas adalah membersihkan hati dari seluruh kotoran tersebut sedikit maupun banyak, sehingga tujuan di hatinya bersih dan tidak ada motif dan tujuan selainnya, dan itu tidak terlihat kecuali dari kecintaannya kepada Allah SWT dan besarnya cemasan kepada akhirat, sehingga tidak terdapat lagi tempat dihatinya untuk mencintai dunia, seandainya dia makan, minum atau membuang hajat maka ia lakukan dengan ikhlas dan niat yang benar. Dan orang yang tidak ikhlas dalam beramal maka sifat ikhlas itu tertutup baginya kecuali sedikit sekali.
Dan sebagaimana orang yang memenangkan cintanya kepada Allah SWT dan akhirat maka seluruh geraknya berangkat dari kecemasannya terhadap akhirat maka perbuatannya menjadi ikhlas. Sedangkan orang yang memenangkan dunia atas dirinya, jabatan dan kedudukan dan hal-hal lain selain Allah SWT, maka seluruh gerak dan perbuatannya membuatnya bersifat seperti itu, maka tidak diterima ibadahnya, puasanya, sholatnya dan yang lainnya kecuali sedikit sekali.
Maka sesungguhnya obat ikhlas adalah membuang kesenangan dan ketamakan diri terhadap dunia serta memikirkan akhirat, sehingga ia menguasai hatinya, maka jika ia dapat melakukan yang demikian akan mudah memperoleh ikhlas. Dan berapa banyak dari manusia yang bersusah payah melakukan sesuatu perbuatan dan ia mengira bahwa perbuatannya karena Allah SWT dan ia dalam hal itu adalah orang-orang yang terkecoh dan tertipu karena ia tidak mengharap Allah SWT.

Biarkanlah Teguran itu Datang

Khudzaifah bin Al Yaman ra dalam suatu kesempatan, mendatangi sahabatnya, Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra.Tidak seperti biasanya, Khudzaifah yang juga disebut shahibus sirri (penyimpan rahasia) Rasulullah saw itu mendapati Umar dengan raut muka yang muram,penuh kesedihan. Ia bertanya, “Apa yang sedang engkau pikirkan wahai Amirul Mukminin?”

Saudaraku,
Jawaban Umar sama sekali tidak terduga. Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyak masalah rakyat yang sudah pasti membuatnya letih. Kali ini, Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi dirinya sendiri. “Aku sedang takut bila aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang melarangku melakukannya karena segan dan rasa hormatnya kepadaku,” ujar Umar pelan. Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu, wajah Umar bin Khattab berubah senang. “Alhamdulillah Yang menjadikan untukku sahabat-sahabat yang siap meluruskanku jika aku menyimpang,” katanya.

Seperti itulah Umar. Jika banyak orang gusar dan marah mendapat teguran atas kesalahan yang dilakukannya. Tapi ia justru menginginkan teguran. Khalifah kedua setelah Abu Bakar ra itu justru ingin kesalahannya diketahui orang lain, untuk kemudian ditegur dan diluruskan. Subhanallah....

Saudaraku,
Berterus terang kepada diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan bukan hal mudah. Terlebih mengaku berterus terang kepada orang lain dan menerima kesalahan yang dilakukan. Lebih sulit lagi, menerima teguran orang lain atas kesalahan. Tapi sebenarnya, teguran atas kesalahan itu kita perlukan.Al-Qur ’an memberi banyak ilustrasi tentang ajakan bermuhasabah, mengevaluasi diri dan teguran langsung atas kesalahan. Metode muhasabah dan teguran yang ada dalam ayat-ayat Al Qur ’an, mengajak kita mau mengakui semua perbuatan dengan jujur dan tulus. Agar kita terbiasa berterus terang mengungkap berbagai kesalahan kepada diri sendiri. Memeriksa noda-noda kesalahan dan kekeliruan yang ada lalu mengakuinya. Bukan untuk membesar-besarkan kesalahan dan membuat diri menjadi gelisah, tetapi agar kita mengetahui kadar kebaikan dan keburukannya. Inilah makna yang dimaksud dalam perkataan Said bin Jubair saat ia ditanya, “Siapakah orang yang paling hebat ibadahnya?” Ia menjawab, “Orang yang merasa terluka karena dosa dan jika ia ingat dosanya ia memandang kecil amal perbuatannya.” (Az Zuhdu, Imam Ahmad, 387)

Saudaraku,
Perhatikanlah bagaimana para sahabat radhiallahu anhum dalam Perang Uhud mendapat teguran langsung dari Allah swt, saat mereka terluka dan mengalami situasi tertekan dan sulit.Ketika itu turun firman
Allah swt, “Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kalian pada hari bertemu dua pasukan itu, mereka digelincirkan oleh setan karena sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau). Dan sesungguhnya Allah telah mengampuni mereka...” (QS.Ali Imran 155). Lihatlah juga di saat bagaimana Allah swt menegur langsung mereka dalam firman-Nya surat Ali Imran ayat 165. “...Kalian berkata: “Dari mana datangnya kekalahan ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Perhatikanlah bagaimana
Allah swt menegur para sahabat dalam peperangan Hunain.“...Dan (ingatlah) peperangan Hunain, di waktu kalian menjadi sombong karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun...” (QS.At Taubah :25)

Maksud teguran langsung tersebut adalah membangkitkan suasana muhasabah, mengangkat kejujuran dan keterbukaan yang bisa menjadikan seseorang mampu mengambil pelajaran dari kekeliruan dan kesalahannya. Musharahah atau keterusterangan untuk mengakui kesalahan adalah langkah paling awal untuk memulai perbaikan.

Saudaraku,
Teguran itu pahit. Tapi cobalah lebih jauh merenungi, pentingnya teguran atas kesalahan. Ustadz Abdul Hamid Al Bilali, dalam Waahaat Al Iiman, menguraikan banyak hal tentang akibat dosa dan kesalahan yang terus menerus dilakukan karena tidak mendapat teguran. Menurutnya, akibat kesalahan yang dilakukan terus menerus adalah sikap tidak merasa berdosa dan tidak merasa bersalah. Perasaan tidak bersalah dan tidak berdosa itu sendiri, bisa disebabkan kondisi akrab dengan dosa tertentu yang terlalu sering dikerjakan. Situasi seperti inilah yang paling ditakutkan Al Hasan Az Zayyat rahimahullah. Ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak peduli dengan banyaknya kemungkaran dan dosa. Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa. Sebab jika sesuatu dikerjakan dengan rutin, maka jiwa menjadi akrab dengannya dan jika demikian, jiwa menjadi tidak memiliki kepekaan lagi.” (Tanbiihu Al Ghafiliin,93) Bagi Al Hasan, kesalahan dan dosa itu masih bisa dianggap kewajaran lantaran manusia memang pasti melakukan salah dan dosa. Yang ia khawatirkan justru ketika kesalahan dan dosa itu tidak dapat dihentikan, dilakukan terus menerus, lalu jiwa menjadi tidak sensitif terhadap kesalahan dan dosa itu. Juga, ketika dosa dan kesalahan tak terhenti karena tak mau menerima teguran yang bisa menyadarkan. Dan, ketika dosa dan kesalahan terlalu sering dilakukan karena tak ada nasihat serta teguran
yang bisa menghentak diri dari kelalaian. Ada lagi akibat dosa yang lebih berbahaya dari kondisi itu. Yakni perasaan aman dan tidak mendapatkan hukuman dari berbagai dosa yang dilakukan. Artinya, seseorang bukan saja tidak menyadari dosa yang dilakukan, tapi lebih dari itu, merasa tenteram dan aman dari hukuman yang Allah swt berikan.

Saudaraku,
Camkanlah nasihat yang dituturkan Imam Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khatir, “Ketahuilah, ujian paling besar bagi seseorang adalah merasa aman dan tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakkan hati hingga tak bisa menentukan pilihan yang baik. Dan, di antara efek hukuman ini adalah seseorang tetap melakukan dosa sedangkan tubuh segar bugar dan seluruh keinginannya tercapai.” (Shaidul Khatir, 169)

Renungkanlah, kalimat terakhir dari nasihat Ibnul Jauzi ini...

Berharap Apa Kita, Saat itu?

Keinginan dan harapan, bukan hanya milik orang-orang yang masih hidup. Keinginan dan harapan juga milik mereka yang telah mati. Jika Rasulullah saw menjelaskan, keinginan orang-orang shalih di alam kubur, adalah kembali ke keluarga untuk menyampaikan berita gembira, maka keinginan orang-orang durhaka juga ingin dikembalikan hidup di dunia. Namun misi yang mereka inginkan di dunia tidak sama. Meski kedua-duanya juga tak bisa memenuhi keinginan dan harapan mereka. Perbedaannya jelas. Orang-orang shalih, sangat gembira dan ingin menyampaikan kegembiraannya kepada keluarganya di dunia. Tapi orang-orang durhaka, justru dalam suasana duka tak terperi hingga ia ingin dikembalikan ke dunia untuk melakukan amal-amal yang bisa memberinya sejumput pahala dari Allah swt. Mereka banyak menyepelekan hak-hak Allah, melewati hidup dalam kesia-siaan dan kelalaian, menunda-nunda taubat sambil berharap agar usianya terus memanjang. Di dalam kuburlah mereka meratapi amalnya dan menangisi apa yang telah lalu. Dan di sana iamenyampaikan harap kepada Allah swt.

Saudaraku yang tak pernah luput dari kasih sayang Allah,
Ayat-ayat Al Quran dan hadits Rasulullah saw menuturkan kepada kita bagaimana keinginan mereka saat ada di alam akhirat. Salah satu keinginan mereka adalah, keinginan mendirikan shalat, meski hanya dua rakaat. Ini dijelaskan oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu yang meriwayatkan hadits Rasulullah saw saat melewati sebuah makam. “Siapakah yang dikubur di sini?” tanya Rasul saw. Para sahabat menjawab, “Ini kuburan fulan.” Rasul saw mengatakan, “Shalat dua rakaat lebih diinginkan oleh penghuni kubur ini ketimbang apa yang tersisa dari dunia kalian.”

Itulah salah satu puncak keinginan orang yang telah meninggal namun banyak melalaikan Allah. Ia sangat mendambakan ruku dalam dua rakaat shalat. Ia begitu berharap bisa menambah timbangan kebaikannya. Ia menentukan keinginannya secara spesifik untuk memperoleh pahala shalat. Karena ia telah
melihat langsung apa manfaat shalat. Kemudian menjadi sangat berduka melewati hari-hari tanpa shalat. Ia ingin kembali ke dunia, hanya beberapa detik untuk bisa ruku. Tidak ada keinginan dunia apapun, hanya ingin dua rakaat.

Saudaraku,
Harapan dan keinginan lain dari orang-orang yang telah wafat dalam kelalaian adalah, shadaqah. Ya, mereka ingin kembali ke dunia beberapa saat saja untuk bisa bershadaqah. Harapan mereka tercantum dalam firman Allah swt dalam surat Al Munafiqun ayat 10-11: “Berinfaqlah kalian dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian, sebelum datang pada salah seorang kalian dan ia mengatakan: “Ya Tuhan-ku seandainya Engkau tunda kematianku sebentar saja, agar aku bisa bershadaqah dan menjadi orang shalih....”
Mereka sadar, shadaqah adalah amal yang paling dicintai Allah swt.Shadaqah jugalah yang mampu mematikan kemarahan Allah swt. Mereka ingin kembali hidup, karena mereka tahu nilai shadaqah yang bisa dibanggakan dari amal-amal lainnya. Mereka sudah tahu betapa besar nilai dan pahala shadaqah, dan betapa besar kerugian orang yang melalaikannya. Tapi, lagi-lagi harapan itu tak mungkin membuka kesempatan. Semua telah lewat. Karena itulah mereka memendam keinginan untuk kembali ke dunia dan bershadaqah, lantaran sebelumnya mereka lebih banyak membelanjakan harta untuk kepuasan nafsu.

Saudaraku,
Keinginan ketiga yang diucapkan oleh orang-orang lalai dan telah wafat adalah, kembali ke dunia untuk menjadi orang-orang shalih. Mereka ingin melakukan amal shalih, taat kepada Allah, berdzikir kepada Allah meskipun satu kalimat. Mereka sangat ingin mengucapkan tasbih meski satu kali, mengeluarkan kalimat tauhid Laa ilaaha illallah meski satu kali. Simaklah bagaimana firman Allah swt tentang harapan mereka, “Sampai ketika salah seorang mereka didatangkan kematian, ia berkata, “Ya Tuhanku kembalikanlah aku untuk bisa beramal shalih terhadap apa yang aku tinggalkan...“ (QS.Al Muminun :99 -100).

Orang-orang yang telah mati, kesempatan mereka telah habis.Mereka berada di alam yang lain, alam akhirat. Di sanalah mereka mengetahui apa yang mereka terima dari amal-amal mereka di dunia. Di sanalah mereka mengetahui penyesalan tak terkatakan dari menyia-nyiakan waktu. Mereka menyadari bahwa waktu tak mungkin dibeli dengan seluruh harta dunia apapun. Karena itulah mereka sangat mengangankan satu amal shalih sedikit saja untuk bisa mengambil pahala dari amal itu.

Saudaraku,
Berpikirlah dan merenunglah tentang perjalanan ini.Sebagaimana inti wasiat Rasulullah tentang hidup dan mati yang terdapat dalam do ’a yang diucapkan setelah kita tidur. “Jika salah seorang kalian bangun dari tidur, katakanlah: “Alhamdulillah yang telah mengembalikan ruhku kepadaku ,menyehatkan tubuh-ku dan mengizinkan aku untuk berdzikir kepada-Nya.”(HR.Turmudzi)

Saudaraku,
Suatu saat,bila kita mengiringi janazah atau melakukan ziarah kubur. Diamlah dan jangan banyak bicara. Berhentilah di sisi sebuah kuburan. Resapilah bagaimana kesempitan liang lahat. Bayangkanlah bila kita berada di dalamnya. Tatkala semua pintu tertutup, tak ada tempat berlari,lalu gundukan tanah yang menimbun di atasnya. Tak ada keluarga, tak ada sahabat. Gelap, sunyi senyap dan mengerikan. Tak ada yang bisa kita dapatkan di dalamnya kecuali amal yang kita lakukan. Renungkanlah, berharap apa kita saat itu?
Mari tanamkan tekad untuk lebih banyak memanfaatkan kesempatan dengan berdzikir pada Allah. Bila tercetus dalam benak dan hati untuk melanggar perintah Allah, ingatlah apa harapan dan keinginan orang-orang yang telah meninggalkan kehidupan ini. Saat kita dibelenggu rasa malas melakukan amal shalih, ingatlah, apa harapan dan keinginan orang-orang yang telah mati. Mereka sangat ingin kembali dan melewati hidup sejenak dalam taat kepada Allah. Segala puji dan syukur hanya untuk Allah swt, karena kita saat ini masih merasakan nikmat hidup. Kita ingin, jika jenak kehidupan ini menjadi penuh nilai dengan memperbanyak ketaatan. Kita pasti berharap, jika rentang perjalanan hidup di dunia ini, jamnya, menitnya, detiknya, adalah ketaatan kepada Allah swt. Sehingga kita bisa berharap kebahagiaandi awal memasuki kesendirian di liang kubur....

bergantunglah, hanya kepada Allah swt

“Ya Allah peliharalah aku dengan Islam ketika aku berdiri. Peliharalah aku dengan Islam ketika aku duduk. Peliharalah aku dengan Islam ketika aku terbaring. Jangan gembirakan orang yang memusuhiku dan yang menyimpan dengki kepadaku. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu semua kebaikan yang ada di Tangan-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari seluruh simpanan kejahatan yang ada di Tangan-Mu.” (HR. Al Hakim dalam Mustadrak, 1/525)

Ini adalah doa yang diucapkan oleh amirul mukminin, Umar bin Khattab ra. Kelihatannya sederhana. Meminta perlindungan Allah swt dari segala sisi. Memohon semua kebaikan dan menolak kejahatan. Tapi, curahan kata-kata itu begitu mencakup seluruh bentuk tameng perlindungan yang harus dipintakan seorang hamba kepada Allah swt.

Tapi pernahkah kita merasakan begitu sulitnya merangkai kata-kata dan kalimat dalam sebuah do’a kepada pemilik sifat Ash Shamad, Tempat Meminta. Pernahkah kita merasakan kesulitan merangkum permohonan dan menumpahkannya dalam do’a kepada Yang Maha Kaya. Bukan karena kita yang tidak pandai menyusun kata, karena do’a memang tidak harus dibumbui dengan kata-kata puitis yang justru semakin sulit dipahami. Masalahnya, lidah terasa kelu untuk meminta, dan jiwa sulit sekali dipertemukan dengan bait-bait kata yang menyimpan permohonan sangat dan menyeluruh kepada Allah swt, Yang Maha Kuasa atas segalanya.

Saudaraku,
Tahukah apa rahasia di balik keindahan do’a dan kesempurnaan munajat yang diucapkan oleh orang-orang shalih? Sesungguhnya untaian kata dalam do’a adalah ekspresi dari kedalaman perasaan mereka terhadap apa mereka pintakan kepada Allah swt. Rasa begitu bergantung dan bersandar pada ke Maha Kuasa dan Maha Besaran Allah swt sehingga menjadikan mereka bertenaga dalam mengungkapkan harapannya kepada Allah swt sebagai satu-satunya tempat untuk meminta.

Begitula, untaian kata dan hubungannya dengan letupan serta gelora yang ada dalam jiwa. Rasulullah saw dan para sahabatnya, yang memiliki tingkat ketaqwaan dan ketawakalan sangat tinggi kepada Allah swt, begitu indah mengungkapkan kata demi kata yang mencakup harapannya kepada Allah swt. Para hamba-hamba Allah swt yang shalih itu, mempunyai keyakinan dan iman yang menyala-nyala dalam batinnya, hingga mereka begitu nikmat mengeluarkan rangkaian kata untuk memohon kepada Allah swt secara menyeluruh. Mereka begitu memiliki kedekatan yang intim kepada Allah swt dalam sehari-harinya, lalu mereka begitu mudah berinteraksi, berbicara, berdialog, meminta, memohon, bermunajat, berkeluh kesah, bercerita kepada-Nya.

Saudaraku,
Mari perhatikan lagi, bagaimana bunyi salah satu do’a yang dipanjatkan Rasulullah saw seperti disampaikan oleh Abdullah bin Umar ra. Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan untaian do’a ini ketika pagi dan sore: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ampunan dan kesalamatan dalam agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allah tutuplah auratku. Lindungilah ketakutanku. Ya Allah peliharalah aku dari hadapanku, dari belakangku, dari sisi kananku, dari sisi kiriku, dari atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu diserang dari bawahku.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Saudaraku,
Seperti itulah permohonan yang dipanjatkan oleh Rasulullah saw. Mohon agar perlindungan Allah swt selalu menyertainya dari semua sudut, dari semua sisi, tanpa celah dan lubang yang tersisa, dan di setiap waktu. Meminta agar Allah swt tidak pernah membiarkannya menjadi incaran dan korban semua kejahatan dari makhluk-makhluk-Nya. Sungguh-sungguh memanjatkan harapan agar Allah swt menyelamatkan agama, dunia dan akhiratnya, menutupi kekurangannya, membentengi ketakutannya.

Pernahkah kita begitu bergantung kepada Allah swt hingga memanjatkan do’a yang sangat menyeluruh seperti ini? Muatan sebuah do’a benar-benar merupakan pantulan dari ketergantungan seseorang yang begitu tinggi kepada Allah swt. Dan seperti itulah jiwa Rasulullah saw, para sahabatnya juga orang-orang shalih. Hingga ketergantungan yang demikian besar itu, seorang shalih dahulu, pernah menuliskan surat kepada saudaranya begiru singkat. Katanya, “Wa ba’du. Jika Allah swt bersamamu, siapa lagi yang engkau takuti ?? tapi jika Allah swt meninggalkanmu, kepada siapa engkau meminta?? Wassalam.”

Merenunglah disini,
Tentang ketergantungan kita kepada Yang Maha Kuat. Tentang nyala keimanan dan keyakinan kita kepada Penguasa Kehidupan. Tentang kedekatan dan keintiman kita kepada Pencipta Kehidupan…

Semakin kita memiliki anasir ketergantungan yang kuat kepada Allah swt seperti itu, kita akan lebih mudah mengucapkan untaian kata permohonan kepada Allah swt. Dan lidah kita, semoga tidak lagi begitu kelu mengutarakan munajat kepada Allah swt. Kita semakin merasakan kenikmatan saat meminta dan bersandar kepada Al Qadir, Yang Maha Kuasa….

Saudaraku,
Soal penanaman nilai ketergantungan kepada Allah swt, dilakukan oleh Rasulullah saw kepada sahabatnya dengan begitu kuat. Diriwayatkan, Rasulullah saw pernah memba’iat para sahabatnya untuk tidak meminta kepada sesama manusia untuk keperluan apapun. Mereka yang dibai’at ketika itu adalah Abu Bakar Shiddiq, Abu Dzar, Tsuban, dan beberapa orang lainnya, radiallahu anhum. Disebutkan dalam shirah, orang-orang yang dibai’at Rasulullah itu kemudian tidak pernah meminta tolong kepada orang lain. Jika tali kekang atau kendali untanya jatuh, ia akan turun dan mengambilnya sendiri dan tidak meminta tolong orang lain untuk mengambilkannya. (HR. Muslim)

Itulah tawakal,
Ketergantungan yang menjadikan seseorang itu tahu bahwa dirinya hanya bersandar dan berharap kepada-Nya. Lalu secara otomatis sangat memelihara diri dari penyimpangan yang bisa menjadi indikasi keterlepasannya dari ketergantungannya kepada Allah swt. Dan Allah swt pasti menjaga hamba-hamba-Nya yang sangat bergantung kepada-Nya.

Antara Takut dan Harap

"Apabila Allah Ta'ala bukakan pintu raja' (harapan), maka saksikan apa yang Allah berikan untukmu. Apabila kamu ingin Allah bukakan pintu khauf (takut), perhatikanlah apa yang telah engkau amalkan mentaati Allah." (Imam Ibnu Atha'illah)

Saudaraku, ada dua hal yang bisa memotivasi orang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu amal, yaitu raja' (harap) dan khauf (takut). Biasanya, orang akan bersemangat kalau ada untungnya dan orang akan menghindar kalau tahu bahayanya.

Raja' adalah harapan yang selalu dipanjatkan oleh seorang hamba kepada Allah SWT; harapan agar amal ibadahnya diterima, harapan agar terhindar dari perbuatan yang dimurkai Allah, dan harapan agar selalu berada dalam rida-Nya.

Sikap harap kepada Allah akan mendatangkan ketenangan dan optimisme dalam hidup. Betapa tidak, Allah adalah pemilik segala-galanya. Ia Mahatahu apa yang terbaik bagi kita. Semua tindakan-Nya teramat tepat, tidak mungkin salah. Karena itu, kita jangan salah menggantungkan harapan diri. Semakin kuat harapan kita pada Allah, akan semakin tenteram pula hidup ini. Sebaliknya, semakin berharap pada makhluk, akan semakin gelisah hidup kita.

Di samping raja', ada pula sikap khauf atau takut. Pentingkah rasa takut itu? Sangat penting. Allah SWT "menakuti-nakuti" manusia dengan ancaman siksaan neraka. Untuk apa? Agar kita menghindari perbuatan maksiat.

Allah SWT menciptakan banyak ketakutan, misalnya takut akan kematian. Ada orang yang tidak takut kepada dosa, tetapi takut kepada mati. Takut mati itu baik, karena bisa membuat kita memperbanyak amal. Jika suatu saat kita melakukan perjalanan, kita harus membayangkan siapa tahu kita meninggal ketika berada dalam kendaraan! Karena itu, berusahalah untuk selalu berdzikir. Andaikan kita meninggal, insya Allah meninggalnya dalam keadaan berdzikir.

Perasaan raja' dan khauf; harap dan takut ini hanya sah bila ditujukan pada Allah semata. Kita boleh berharap dan takut kepada makhluk dalam takaran yang wajar, karena makhluk tidak dapat mencelakakan diri tanpa izin Allah. Yakinlah, tidak ada yang dapat mencelakakan kita tanpa seizin dari Allah Yang Maha Berkuasa. Yang tak kalah penting, kita harus menempatkan sikap raja' dan khauf ini dalam keadaan seimbang dan proporsional. Bila terlalu besar rasa harap, dengan mengabaikan rasa takut, kita akan cenderung menyepelekan amal bahkan terjatuh pada ketertipuan diri. Sebaliknya, bila terlalu takut dengan mengabaikan harapan, kita akan cenderung fatalis, berputus asa, dan hilangnya optimisme dalam diri.

Sebagai sebuah ilustrasi, ada orang yang sering was-was dalam shalat, mulai dari wudhu hingga takbir. Ketika wudhu ia melakukannya berkali-kali, karena selalu merasa bahwa wudhunya tidak sempurna. Begitupun ketika takbir, ia melakukannya berkali-kali hingga menggangu orang yang ada di sebelahnya. Sikap was-was seperti ini bersumber dari tidak seimbangnya raja' dan khauf dalam beribadah. Rasa takutnya (khauf) terlalu berlebihan, sehingga menimbulkan kemudharatan. Begitupun sebaliknya, ada orang yang terlalu pede, sehingga ia kurang memperhatikan aturan atau rukun-rukun dalam ibadah, sehingga ibadahnya terkesan asal-asalan. Yang terbaik, sekali lagi, adalah terjaganya keseimbangan di antara raja' dan khauf tersebut. Allah adalah Dzat Yang Maha Pemaaf, Dia akan mengampuni setiap dosa dan ketidaksempurnan dari amal setiap manusia, selama niat si hamba ikhlas karena Allah. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Keistimewaan Hari Jum'at

Hari Jum'at adalah hari dimana disunnahkan menangguhkan tidur pagi (qailulah) dan makan siang pada setiap hari Jum'at. Mengenai hal ini, Bukhari dan Muslim mengemukakan hadits dari Sa'ad bin Salih yang mengatakan : "Kami tidak tidur pagi dan tidak makan siang kecuali sesudah Sholat Jum'at"

Ahmad bin Hanbal dan Al-Hakim mengemukakan sebuah hadits diperoleh dari Aus bin Aus Ath-Thaqafi ra. yang menyebutkan bahwa dia mendengar sendiri Rasulullah SAW bersabda :

"Barangsiapa yang membersihkan badan dan mandi pada hari Jum'at, setelah itu dia siap segera berangkat menghadiri sholat Jum'at, berjalan kaki, tidak berkendaraan, lalu mendekati Imam (duduk di shaf terdepan) dan tidak membuat sia-sia serta mendengarkan khutbah baik-baik, maka setiap langkah (yang ditempuh dalam perjalanan ke Masjid) dia memperoleh ganjaran pahala satu tahun puasa dan sembahyang-sholat Jum'atnya"

Hari Jum'at adalah hari dimana Rasulullah saw, melarang bercukur rambut sebelum shalat Jum'at. Hal ini itu dinyatakan mengikut satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, diperoleh dari Amr bin Syu'aib yang menerima dari ayahnya sendiri (Syu'aib). Dikatakan oleh Syu'aib bahwa dia menyaksikan sendiri Rasulullah saw melarang bercukur rambut pada hari Jum'at sebelum Sholat Jum'at.

Hari Jum'at adalah hari dimana terlepas dari siksa kubur. Abu Ya'la mengemukakan sebuah hadits diperoleh dari Anas ra yang menyebut bahwa Rasulullah saw bersabda :

"Barangsiapa yang meninggal dunia pada hari Jum'at, dia terhindar dari siksa kubur."

Hari Jum'at adalah hari dimana sedekah berlipat ganda. Ibnu Abi Syaibah di dalam "Al-Mushannaf" mengetengahkan sebuah hadits yang diperoleh dari Ka'ab yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda :

"Pahala sedekah berlipat ganda pada hari Jum'at"

Hari Jum'at adalah hari dimana pahala kebajikan dan dosa kejahatan berlipat ganda. Ibnu Syaibah mengemukakan hadits yang diperoleh dari Ka'ab yang menyebutkan bahwa hasanah dan sayyiah yang diperbuat pada hari Jum'at pahala dan dosa masing-masing berlipat ganda. Hadits yang lebih kurang serupa diriwayatkan juga oleh Tabrani. Oleh Humaid bin Zanjawiyyah, dari Abu-Haitham dan Abu Sa'id di dalam Fa-dha-'ilul-A'mal", diriwayatkan juga oleh Al-Musayyab bin Rafi.

Hari Jum'at adalah hari dimana tidak dimakruhkan sembahyang tengah hari, yakni sembahyang ketika matahari tepat di atas kita. Mengenai hal itu, Abu Dawud mengemukakan sebuah hadits dari Qatadah, diperoleh dari Rasulullah SAW, bahwa baginda memakruhkan sembahyang tengah hari kecuali pada hari-hari Jum'at, setelah itu menyatakan :

"Neraka Jahanam terus-menarus menyala-nyala kecuali pada hari Jum'at"

Hari Jum'at adalah hari dimana seseorang dilarang melakukan musafir jauh sebelum melakukan Sholat Jum'at. Hal itu dinyatakan mengikuti satu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, diperoleh dari Hassan bin Atiyyah yang menyebut bahwa orang yang pada hari Jum'at berangkat musafir jauh (sebelum menunaikan sholat Jum'at) dia didoakan keburukan (oleh Malaikat), tidak ditemani dan dibantu.

Hari Jum'at adalah hari penghapusan dosa. Ibnu Majah mengemukakan sebuah hadits diperoleh dari Abu Hurairah ra, yang menyebut bahwa Rasulullah SAW bersabda :

"Dari hari Jum'at hingga Jum'at berikutnya adalah masa penghapusan dosa (bagi orang yang menunaikan sholat Jum'at), manakala dia tidak berbuat dosa besar (kaba'ir)."

Mengikuti satu hadits lainnya lagi, yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, diperoleh dari Sulaiman menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah bertanya kepadanya : "Tahukah engkau apakah hari Jum'at itu ?" Dia menjawab, "Allah SWT dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. " Baginda setelah itu menjelaskan, "Hari itu adalah hari dimana Allah SWT mengumpulkan kedua orang tua kamu. Seorang hamba yang berwudlu dengan baik lalu datang ke Masjid untuk menunaikan Sholat Jum'at, Allah SWT menghapuskan dosa-dosanya (yang diperbuat) dari Jum'at yang satu sampai Jum'at lainnya."

Hari Jum'at adalah hari dimana Rasullulah SAW menganjurkan umatnya supaya banyak-banyak bershalawat kepada Baginda :

"Hendaklah kamu banyak-banyak bersholawat kepadaku pada hari Jum'at karena hari itu adalah hari yang disaksikan (Masyud) oleh Malaikat."

Hari Jum'at adalah hari dimana istigfar sebelum sembahyang Subuh pasti akan terkabul. Tabrani dalam "Al-Ausat" mengemukakan sebuah hadits yang diperoleh dari Anas ra, yang menyebut bahwa Rasulullah SAW bersabda :

"Barangsiapa beristigfar (mohon ampun) tiga kali sebelum sembahyang Subuh pada hari Jum'at dengan mengucapkan : "Astagfirullah Allazi lailaha illa huwalhayyul-qayyum wa atubu ilaihi" maka dosa-dosanya diampuni Allah SWT meskipun dosanya sebanyak buih di Lautan."

Ahmad bin Hanbal dan Al-Hakim mengemukakan sebuah hadits diperoleh dari Aus bin Ath-Thaqafi ra, yang menyebutkan bahwa dia mendengarkan sendiri Rasulullah SAW bersabda :

"Barangsiapa yang membersihkan badan dan mandi pada hari Jum'at, setelah itu dia siap segera berangkat menghadiri Sholat Jum'at, berjalan kaki, tidak berkendaraan, lalu mendekati Imam (duduk di shaf terdepan) dan tidak berbuat sia-sia serta mendengarkan khutbah baik-baik, maka setiap langkah (Yang ditempuh dalam perjalanan ke Masjid) dia memperoleh ganjaran pahala satu tahun puasa dan sembahyang - Sholat Jum'atnya."

Hari Jum'at adalah hari penciptaan Adam as. Muslim mengemukakan sebuah hadits yang diperoleh dari Abu Hurairah ra, yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

"Hari terbaik dimana Matahari terbit adalah hari Jum'at. Pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu dia dimasukan ke dalam Syurga dan pada hari itu pula dia dikeluarkan dari Syurga. Dan hari kiamatpun akan terjadi pada hari Jum'at."

Hari Jum'at adalah hari berlimpahnya magfirah. Ibnu adiy dan Tabrani dalam "Al-Ausat" mengemukakan sebuah hadits yang diperoleh dari Anas ra, yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

"Sesungguhnya bahwa Allah SWT Tabaraka wa Ta'ala tidak membiarkan seorang muslimpun yang tidak diampuni dosanya."

Asy-Syaukani mengemukakan sebuah hadits yang diperoleh dari Abu Hurairah ra, yang menyebut bahwa Rasulullah SAW, ketika menyebut hari Jum'at bersabda :

"Di dalam hari itu terdapat suatu saat dimana seorang hamba Allah SWT yang menjumpainya, setelah itu dia sembahyang mohon sesuatu kepada Allah SWT, permohonannya pasti diperkenankan."

Tabrani mengemukakan hadits yang diperoleh dari Abu Umamah yang menyebut bahwa Rasulullah SAW, bersabda :

"Barangsiapa menunaikan shalat Jum'at, berpuasa pada hari itu ( dalam keadaan berpuasa pada dua hari sebelum dan sesudahnya), menjenguk orang sakit, menziarahi jenazah dan menyaksikan pernikahan, dia berhak masuk Syurga."

Cara Dahsyat Berpikir Kreatif

Cara Dahsyat Berpikir Kreatif
by Ray Poetra هيرى يانتو on Friday, August 20, 2010 at 2:25pm

Kreatifitas adalah produk yang paling berharga saat ini. Dengan kreatifitas, barang tak berharga bisa bernilai tinggi. Tapi menjadi kreatif bukanlah pekerjaan semalam. Juga bukan pelajaran akademis yang bisa dihafalkan. Untuk menjadi kreatif, anda butuh latihan dan latihan.

Beberapa macam latihan kreatifitas yang bisa dilakukan adalah:

1. Pergi dan pulang di jalur yang berbeda

Jika anda ke kantor melewati jalurA, maka saat pulang usahakan melewati jalur B walaupun itu harus memutar. Bila anda tahu banyak jalur alternatif menuju tempat kerja anda, maka lewati saja semua di waktu-waktu yang lain.

Saat kita melewati jalur yang sama tiap hari, maka otak kita cenderung pasif karena ada system outopilot yang menjalankan tubuh kita. Nah, bila kita melewati jalur berbeda, maka otakcenderung aktif karena baginya ini adalah hal yang baru dan otak perlu waspada.Dengan seringnya otak bekerja, maka semakin besar kemampuan berpikir kita karena otak terlatih dengan baik.


2. Menulis dengan cara yang berbeda

Apakah anda suka menulis dikomputer? Cobalah untuk menulis di kertas atau sekali-kali cobalah buat sebuah puisi di tembok rumah anda. Jika biasa menulis sambil duduk, cobalah menulis sambil tiduran. Jika biasa menulis dengan posisi tanggal kertas ada diatas,cobalah untuk membalik buku anda.


3. Lakukan kegiatan yang benar-benar baru

Pasti anda punya aktifitas atau hobby yang sangat anda gemari. Cobalah melakukan hal lain yang benar-benar baru. Buat laki-laki, memasak atau mencuci pakaian anak-anak mungkin bisa jadi alternatif. Buat perempuan, sekali-kali cobalah bermain bola dengan anak laki-laki anda.

Anda juga mungkin bisa mencoba hal-hal lain yang sama sekali belum pernah anda lakukan.


4. Temui orang-orang baru

Saat anda ada di suatu pesta atau temu alumni, cobalah hindari orang-orang yang sudah anda kenal dan dekati orang-orang baru yang belum anda kenal sama sekali. Bertemu orang-orang baruakan menambah wawasan anda dan cara berpikir anda. Tiap orang itu unik, dan jika anda banyak bertemu dengan orang2 unik, maka kreatifitas akan mudah anda temukan.


5. Bacalah buku dengan topik yangbelum pernah anda baca

Saat ke toko buku, biasanya kita langsung menuju ke topik tertentu yang kita sukai. Nah, cobalah menahan diri dan pergilah ke topik2 lain yang sama sekali belum pernah anda datangi. Cobalah baca-baca buku disana kalau perlu belilah satu buku.

Nah, itulah beberapa latihan efektif untuk mengembangkan kemampuan otak anda. Sebenarnya masih banyak lagi sih, cuma selama ini itulah yang saya lakukan.. hehehe.. Sisanya silahkan coba-coba sendiri deh

Adakah yang Lebih Damai dari Menyendiri Bersama Allah

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda :
Allah ’Azza wa Jalla akan turun ke langit dunia setiap malam ketika sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman : ”Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan menerima permintaannya dan siapa yang meminta keampunan dari-Ku maka Aku akan mengampuninya. (HR. Bukhari dan Muslim)


Hanya Allah Sebaik-Baik Tempat Mengadu

Di Thaif yang tiba-tiba ramai, orang-orang berhamburan keluar. Mengusir sosok mulia yang datang dengan niat mulia. Rasulullah yang khusus datang ke tempat itu untuk menyampaikan ajaran Islam, justru disambut dengan lemparan batu, cacian dan dikejar-kejar layaknya seorang pesakitan.

Sahabat Zaid bin Haritsah RA sudah berusaha sekuat tenaga melindungi tubuh Rasulullah dari lemparan batu. Tapi iapun kewalahan, hingga ia sendiri mengalami luka di kepalanya. Maka Rasulullahpun terluka. Tidak saja fisiknya, tapi juga hatinya.

Darah Rasulullah, sosok manusia paling agung itu mengalir, menyela butir-butir pasir tanah Thaif yang gersang. Rasulullah berlari sambil terseok-seok menghindari lemparan batu yang terus mengejarnya hingga ia berindung ke sebuah kebun milik Uqbah bin Rabi’ah. Dalam kondisi payah itu, sambil menahan sakit, ia bermunajat kepada Allah, mengadukan segala yang ia terima dari orang-orang yang tak mengerti itu.

Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah pelindung bagi si lemah, dan Engkau jualah pelindungku. Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang Engkau limpahkan kepadaku.”

Rasulullah SAW adalah manusia yang memiliki kualitas moral paling baik sepanjang zaman. Namun di hamparan tanah Thaif, Rasulullah SAW mengalami kejadian yang sangat menyesakkan dada. Itulah alur hidup dan jalan perjuangan yang harus dilaluinya.

Tetapi yang harus dicatat, dalam suasana yang sangat pahit seperti itu, Rasulullah mengajarkan betapa masih ada tempat mengadu yang segar disaat yang lain menyakitkan. Tempat mengadu yang lapang di saat yang lain sempit, yang berkenan mendengar disaat yang lain menutup mata dan menyumbat telinga. Tempat mengadu itu adalah Allah SWT.

Maka untaian pengaduan Rasulullah SAW dalam munajat itu tidak saja deklarasi kebergantungan kepada Allah, tapi juga pencarian jawaban akan rasa tentram dari keseluruhan peristiwa yang sangat menyakitkan. Karenanya di akhir do’a itu Rasulullah SAW menegaskan, bahwa jika Allah tidak murka, maka semua kepahitan itu tak akan ia hiraukan. Inilah yang dimaksud jawaban ketentraman di balik kepahitan itu.

Karenanya, di satu sisi Rasulullah memang mengajarkan betapa setiap kita sangat perlu kepada Allah. Betapa setiap kita perlu bermunajat kepada Allah. Betapa setiap kita sangat membutuhkan saat-saat untuk mengadu kepada Allah, menyampaikan segala beban-beban hidup yang berat. Tetapi di sisi lain Rasulullah juga mengajarkan betapa munajat sangat kita perlukan sebagai tempat untuk kita memohon kepada Allah agar kesulitan yang kita hadapi bukan merupakan murkaNya. Bahkan dalam urusan yang menyenangkanpun, kita harus bermunajat kepada Allah, memohon agar kesenangan itu bukan bentuk lain dari cara Allah ’mengasih hati’ untuk kemudian berubah menjadi awal dari malapetaka kehidupan.

Setiap mukmin harus meyakini bahwa dirinya tidak lepas dari rasa bergantung kepada Allah. Tidak ada tempat mengadu yang lebih baik dari Allah SWT. Ia Maha Mendengar keluh kesah hambaNya. Maha Melihat kesusahan dan kesenangan hambaNya. Kepercayaan ini pula yang diajarkan Rasulullah ketika ia hendak kembali lagi ke Mekkah, setelah di Thaif diperlakukan semena-mena.

Zaid yang menemaninya ketika itu bertanya ”bagaimana engkau hendak pulang ke Mekkah, sedangkan penduduknya telah mengusirmu dari sana?” dengan tenang dan mantap Rasul menjawab pertanyaan Zaid, ”Wahai Zaid, sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela nabi-Nya.” (Sirah Ibu Hisyam)

Begitulah, meski dalam hadist lain disebutkan bahwa peristiwa Thaif di mata Rasulullah jauh lebih berat daripada peristiwa Uhud, namun Rasulullah tetap memupuk keyakinan, menanamkan semangat dan keyakinan bahwa bersama Allah, segala kesulitan akan punya jalan kemudahan.

Episode pengusiran dari Thaif yang dialami rasulullah juga mengisyaratkan pelajaran penting lainnya. Bahwa betapapun tingginya jiwa seseorang, ia takkan bisa terlepas dari fitrah dan kadar kemanusiaannya. Fitrah perasaan yang merasa senang, sedih, ingin pada ketenangan, menghindari kesulitan dan sebagainya. Merasa sakit bila mengalami penderitaan, merasa gembira bila keinginannya tercapai. Merasa sedih kala melewati peristiwa yang menyakitkan, merasa senang bila mengalami kemudahan.

Tetapi sekali lagi, itu semua justru dalam konteks yang tak jauh berbeda, bahwa setiap orang memerlukan sandaran hidup yang kokoh. Dan tidak ada tempat bersandar yang lebih kokoh dari Allah SWT. Sementara sesama manusia tidak akan ada yang bisa menjadi tempat mengadu yang sesungguhnya. Dalam istilah Ibnul Qayyim Rahimahullah, ”Orang bodoh adalah yang mengadukan Allah kepada manusia. Andaikan ia tahu siapa Robb-nya, tentu ia tak akan mengadukan-Nya kepada manusia, dan andaikan dia tahu siapa manusia, tentu dia tidak akan mengadu pada mereka.”

Mengadukan Allah pada manusia, artinya mengeluhkan segala permasalahan dan beban hidup yang diberikan Allah atas seseorang, pada sesama makhluk. Hal itu tak akan terjadi bagi orang yang mengerti siapa Allah dan siapa manusia. Sebagian dari salafusshalih mengatakan ”Demi Allah, mengapa engkau mengadukan Yang Mengasihimu kepada siapa yang tidak mengasihimu?”

Selanjutnya menurut Ibnul Qayyim, ada tiga tingkatan yang terkait dengan masalah pengaduan. Pengaduan yang paling buruk ialah mengadukan Allah kepada makhluk-Nya. Yang paling tinggi ialah mengadukan diri sendiri kepada Allah. Dan yang pertengahan ialah mengadukan makhluk kepada Allah.

Allah memiliki salah satu sifat yang disebut Ash Shamad, atau tempat memohon pertolongan. Dalam Al Qur’an, kata Ash Shamad hanya ditemukan dalam satu ayat dari ayat kedua surat Al Ikhlas yang berbunyi, ”Allahu Ash Shamad”. Menurut Ibnu Abbas, kandungan makna Ash Shamad itu adalah sesuatu yang telah sempurna kemuliaannya, yang agung dan mencapai puncak keagungannya, yang kaya dan tidak ada yang melebihi kekayaannya, yang perkasa dan sempurna keperkasaannya, yang mengetahui dan sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tiada cacat dalam kebijaksanaannya. Itulah Allah SWT.

Sifat Ash Shamad artinya hanya Allah satu-satunya tumpuan harapan, segala kebutuhan dalam wujud ini tidak tertuju kecuali kepada-Nya. Dan yang membutuhkan sesuatu tidak boleh mengajukan permohonan kepada selain-Nya. Sebagaimana dalam sebuah hadits shahih disebutkan Rasulullah SAW mengajarkan Ibnu Abbas, ”Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah dan jika engkau membutuhkan pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah.” Allah SWT berfirman, ”Apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah(lah) datangnya, dan bila kamu ditimpa kemudharatan maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” (QS. An Nahl : 53)

Di dalam Al Qur’an Allah menjelaskan, bahwa orang-orang yang enggan memohon kepada Allah adalah orang-orang yang sombong. Allah SWT berfirman ”Dan Tuhanmu berkata, memohonlah kepada-Ku, niscaya aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari menyembahku, akan memasuki neraka secara hina.” (QS. Al Mu’min : 60)

Tak ada suasana paling indah, kecuali hadir dengan penuh ketundukan dan rasa kebergantungan yang dalam dihadapan Allah SWT. Terlebih di saat malam yang sunyi. Ketika dunia terlelap dalam diam.

Ditengah segala kesulitan hidup yang terus menumpuk, semestinya, seorang muslim punya saat-saat khusus untuk bermunajat kepada Allah di luar kewajiban rutinnya yang tetap. Dalam kesendirian, dalam suasana hening, dalam kesunyian dunia, kita bisa menyendiri mengadu kepada Allah, seluas-luasnya, sebebas-bebasnya, tanpa sedikitpun merasa tak didengarkan.

Agar Kesalahan Menjadi Pintu Kebaikan

Rabi’ bin Hutsaim, seorang tabiin yang terkenal memiliki sikap selalu membersihkan jiwa mengatakan, “Seandainya manusia itu tahu tentang aibnya sendiri niscaya tak ada orang yang akan mencela diri orang lain.” Suatu ketika ia pernah ditanya seorang sahabatnya, “Wahai Abu Yazid –panggilan Rabi’- mengapa engkau tidak pernah mencela orang lain?” Ia menjawab, “Demi Allah, jiwaku saja belum tentu diridhai Allah lalu untuk apa aku mencela orang lain? Sesungguhnya banyak manusia yang takut kepada Allah karena melihat dosa-dosa yang dilakukan oleh orang lain. Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang seperti tidak merasakan hal itu dengan dosa yang ia lakukan sendiri.” (Tabaqat Ibnu Sa’ad, 6/168)

Saudaraku,
Siapa di antara kita yang kuat menahan malu, andai kita tahu daftar kesalahan, kedurhakaan, kemaksiatan, dan pelanggaran yang kita lakukan? Siapa di antara kita yang mampu menahan rasa hina yang tiada tara, jika saja kita mengetahui catatan perilaku buruk dan dosa yang telah kita lakukan? Hidup yang sudah kita lalui singkat. Dua puluh, tiga puluh, atau empat puluh tahun? Tapi siapa yang kuat menahan penyesalan akibat keburukan dan dosa yang kerap kita lakukan berulang-ulang?

Saudaraku, mari perbaharui taubat,
Mari perbanyak istighfar dan permohonan ampun pada Allah swt. Rasulullah menggambarkan, sebuah dosa seperti noda hitam di dalam hati. Kian banyak noda hitam itu, maka hati menjadi hitam legam, kelam. Sinarnya bukan hanya redup, tapi gelap. Cahayanya tertutup oleh titik-titik noda yang menjadikannya tak mampu lagi memandang dan menimbang kebenaran. “Bila seseorang melepaskan diri dari dosa, beristighfar dan bertaubat, hatinya akan cemerlang seperti semula. Dan bila ia mengulangi perbuatan dosa maka noda hitam itu akan bertambah hingga meliputi hatinya. Allah swt berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (HR. Turmudzi).

Mirip dengan hadits dan firman Allah tadi, Hasan Al Bashri menyebutkan bahwa ketaatan itu identik dengan cahaya batin dan kekuatan fisik. “Kebaikan itu memberi cahaya dalam hati, melahirkan kekuatan bagi tubuh. Sementara keburukan akan menggelapkan hati dan melemahkan tubuh, serta mempengaruhi terhadap rezeki,” ujar Hasan Al Bashri. Ia kemudian mengutip sebuaj sabda Rasulullah saw, “Seseorang dihalangi rezekinya karena dosa yang ia lakukan.” (HR. Ibnu Majah).

Saudaraku,
Meski begitu, kemaksiatan bukan akhir dari segalanya. Melakukan dosa tak berarti kejatuhan yang tak mungkin pelakunya bangkit kembali. Inti pesan yang ingin disampaikan dalam hadits dan perkataan Hasan Al Bashri tadi adakalah , ajakan utnuk mengulang-ulang dan memperbaharui taubat. Iamam Ibnul Qayyim pernah menguraikan panjang, betapa kesalahan dan dosa yuang diperbuat oleh Nabiyullah Adam as hingga ia diturunkan dari surga ke bumi, ternyata membuka banyak hikmah dan karunia Allah kepada Adam dan keturunannya. Dalam kitab Al Fawaid, Ibnul Qayyim menulis bahwa syaitan yang dengki gembira dengan jatuhnya Adam dan Hawa ke lembah dosa dan terpeleset dari surga. Tapi sesunggguhnya keluarnya Adam dan Hawa dari sutga menyebabkan ia melahirkan banyak karunia Allah kepadamanusia karena kemudian lahir anak cucu yang kelak menjadi khalifah di muka bumi. Bahkan ada hadits Rasulullah yang menyebutkan, “Dan demi dzat yang di diriku ada kekuasaan-Nya, jika kalian tak melakukan dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian lalu akan mendatangkan kaum lain yang akan berdosa, kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka.” (HR. Muslim)

Ibnul Qayyim setelah itu, memberi komentar sangat indah bahwa ketika Adam dikeluarkan dari surga karena kesalahannya, tidak berarti Allah tidak memperdulikannya. Allah tetap memelihara keturunan Adam dan anak cucunya. Karena selanjutnya Allah pun tetap menjadikan surga untuk Adam dan anak cucunya yang beriman dan taat kepada Allah swt, selama-lamanya. Jadi, dikeluarkannya Adam dari surga seolah hanya sementara waktu untuk menyempurnakan bangunan surga itu sendiri. Sama seperti manusia yang ingin melakukan renovasi tempat tinggal lalu ia harus keluar dari rumah itu sementara dan kembali lagi. Tulis Ibnul Qayyim rahimahullah.

Ibnul Qayyim juga menggarisbawahi bahwa meski dengan segala keutamaan yang Allah berikan kepada Adam, tapi Adam tetap menyadari dan kembali kepada Allah, memohon ampun terhadap kemaksiatan yang dilakukannya. Karena itulah, Nabiyullah Adam as, yang disebutkan dalam Al Qur’an berbunyi, “Ya Rabb kami, kami telah mendzalimi diri kami sendiri dan jika Engkau tidak memberi ampun kepada diri kami niscaya kami menjadi orang-orang yang merugi….” Kesalahan telah membuat Adam merasakan kedekatan dan ketergantungan luar biasa kepada Allah swt.

Saudaraku,
Demikianlah. Kemaksiatan dan dosa, ternyata bisa saja menjadi pintu kebaikan bagi pelakunya. Syaratnya hanya satu, yakni perbaharui taubat. Pintu kebaikan ada di mana saja. Termasuk di hadapan pelaku kemaksiatan. Jangan mencela berlebihan perilaku maksiat yang dilakukan oleh orang lain. Karena mungkin saja di lain kemaksiatan itu ternyata melecut pelakunya untuk melakukan keshalihan yang bisa jadi kita sama sekali tidak mampu melakukannya.

Tinggalkan kemaksiatan, sesali dosa, perbaharui taubat, jangan biarkan diri hanyut dalam nikmatnya ayunan kesalahan. Ingat saudaraku, jika kita ikhlas, Allah pasti akan menggantikan kenikmatan dosa yang kita tinggalkan dengan sesuatu yang lebih indah dan nikmat sejak di dunia, terlebih di akhirat. Dengarkanlah perkataan yang diucapkan Ibnu Sirin, seorang tokoh ulama di zaman Tabi’in yang terkenal memiliki kepekaan spiritual di zamannya. Ia mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang meninggalkan suatu keburukan yang ia rasakan nikmat, hanya karena Allah, kecuali ia pasti akan menemukan gantinya dari Allah swt…”

Atau perhatikanlah sabda Rasulullah saw, “Barang siapa yang memalingkan pandangan dari sesuatu yang haram, maka Allah akan berikan satu titik cahaya dalam hatinya…”

Saudaraku,
“Semoga Allah merahmati hamba yang berkata pada jiwanya, ‘Bukankah kamu telah melakukan ini? Bukankah kamu telah melakukan ini?’ Lalu ia mengikat jiwanya bahkan memukulnya, dan setelah itu ia mengurung jiwanya untuk selalu taat sesuai perintah Allah sampai ia menjadi komando bagi jiwanya dan bukan sebaliknya dikomando oleh nafsunya.” Begitu ucapan Malik bin Dinar.

Tengadahkan tangan saudaraku, kita sama-sama berdo’a: “Ya Allah, jadikan kondisi rahasiaku lebih baik dari kondisi lahirku. Dan jadikanlah kondisi lahirku itu baik. Jadikanlah batinku lebih baik dari lahirku. Dan jadikanlah lahirku baik. Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari menganggap diriku besar, tapi Engkau menganggapku kecil… Ya Allah, aku berlindung dengan ridho-Mu dari kemarahan-Mu.. aku berlindung dengan maaf-Mu dari azab-Mu….

tentang niat

Tentang Niat
by Hizburrahman Hidayat on Wednesday, August 4, 2010 at 9:40pm

islam meng'ekspektasikan bahwa segala perbuatan baik yang kita lakukan adalah ibadah.
dan akar segala perbuatan, termasuk ibadah,, adalah niat.
niat yg baik, akan membuat apa yang kita lakukan menjadi ibadah, dan dapat pahala tentunya.
dan sebaliknya.. niat yang buruk , malah bisa menjadikan ibadah menghasilkan dosa.

niat kadang dianggap enteng..
memang mudah menanamkan niat baik dalam hati.. yang susah adalah memurnikan nya.
karena syeitan selalu menggoda manusia, agar kemurnian niat tercampur dengan riya, takabbur, dan hal2 yang bersifat duniawi.
misalnya tentang seorang yang pergi haji karena ingin dipanggil "haji" oleh masyarakat.

besar sumbangan yang anda berikan tak akan ada artinya dimata allah, ketika itu engkau lakukan hanya untuk menarik simpati masyarakat dalam pemilihan kepala daerah.
peluh yang engkau teteskan dalam merajut ranah dakwah tak akan tertulis dalam daftar amal baik mu. ketika semuanya engkau niatkan hanya untuk menunjukan prestige di mata kader dakwah yang lain..
dan dengan lantang kau bilang "sudah banyak yang aku lakukan untuk dakwah ini"

betapa sulitnya menjaga kemurnian niat..
simak bagaimana seorang imam mempertahankan niatnya semata-mata beribadah kepada Allah..
ketika syeitan membisikan kepadanya :
"hai imam, betapa merdu suara mu,, aku yakin ma'mum2 dibelakangmu sedang memuji2 bacaan ayat mu yang sangat merdu.. ayo keraskan lagi suaramu.. dan buat mereka semakin memujimu"
dan akhirnya ternodalah kesucian niat sang imam.. karena rayuan dan godaan syeitan..

lalu bagaimanakah kita menjaga kemurnian niat kita???
akankah kita selalu terperdaya oleh godaan syeitan??

maka selalu dengungkanlah di kepala kita tentang hadits pertama dalam hadits arba'in
ketika rasulullah saw mengingatkan kita bahwa apa yang kita niatkan ketika beribadah, maka itulah yang akan kita dapat. dan hanya orang2 yang semata2 meniatkan ibadah karena allah ta'ala yang akan mendapatkan segala-galanya.bahkan kebaikan yang tak pernah di harapkan nya pun akan allah berikan..(imbalan tak terduga dari Allah swt).

terus dan terus kita mendengungkan tentang hadits itu..
sambil menancapkan nya di dalam hati kita,
setidaknya ada penyeimbang dalam hati kita..
menjadi zat pemberantas virus "riya" dalam hati kita
mengobati penyakit takabbur yang ada dalam diri kita
dan menghalangi mata nafsu kita terhadap hal2 yang bersifat duniawi..

selanjutnya adalah berusaha mempelajari, dan melatih keikhlasan dalam beramal..
ada banyak petunjuk tentang bagaimana melatih keikhlasan. mulai dari hadits2 yang rasulullah wasiatkan, sampai buku-buku kontemporer yang membahas tentang trik2 melakukan ikhlas.
layaknya seorang bayi yang belajar merangkak, kita akan merasakan jatuh bangun dalam mempelajari dan melatih keikhlasan.. tapi akhirnya bayi pun bisa merangkak dan kemudian berjalan dengan kedua kaki nya.

insyaallah..

keutamaan puasa ramadhan


"Whoever fasted Ramadan as he promisedhimself, that after Ramadan passed he would not engage in immoral toGod, then he will enter Paradise without question and measure. "


"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan seraya berjanji pada dirinya, bahwa setelah Ramadhan berlalu ia tidak akan bermaksiat kepada Allah, maka ia akan masuk Surga tanpa pertanyaan dan hisab."

(Ka'ab bin Malik radhiyalla 'anhu)

7 Kebiasaan Orang Kreatif

7 Kebiasaan Orang Kreatif
by Ray Poetra هيرى يانتو on Monday, August 16, 2010 at 4:50pm

Para pakar kreatifitas menegaskan bahwa setiap orang memiliki potensi kreatif dan kreatifitas itu sendiri dapat dipelajari dan ditingkatkan. Memang, faktor-faktor seperti pengetahuan, penguasaan teknik, pengalaman praktis, dan motivasi sangat penting peranannya dalam membuka dan mengembangkan potensi kreatifitas. Namun, tak kalah penting adalah pengembangan kebiasaan-kebiasaan positif yang merangsang cara berpikir atau tindakankreatif.

Kebiasaan adalah tingkah laku yang dijalankan secara konsisten dan berulang-ulang. Sementara kebiasaan kreatif adalah tingkah laku yang dijalankan secara konsisten yang berakibat pada lahirnya berbagai bentuk output kreatif. Orang kreatif memiliki kebiasaan-kebiasaan positif yang mampu mengeliminir aral kreatifitas dan ujung-ujungnya mengaktualisasikan potensi kreatifnya. Begitu melekatnya kebiasaan tersebut sehingga memunculkan karakteristik spesifik yang menggambarkan seperti apa orang kreatif itu.

Sesungguhnya, bagi mereka yang merasa dirinya tidak atau kurang kreatif, mengembangkan kebiasaan kreatif menjadi cara yang ampuh untuk mengaktualisasikan potensi atau meningkatkan kreatifitasnya. Nah, kebiasaan-kebiasaan positif apa yang kondusif bagi proses kreatif? Berikut pembahasannya:


1. Bersikap terbuka

Satu kebiasaan utama orang kreatif adalah pada sikapnya yang terbuka terhadap segala macam ide, gagasan, dan pemikiran, mulai dari yang lurus-lurus saja sampai yang tergolong kontroversial. Ini bertolak belakang dengan kecenderungan kebanyakan orang yang hanya menerima hal yang disukai, diinginkan, dan tidak bertentangan dengan dirinya. Bagi orang kreatif, sesuatu yang lain daripada yang lain, yang baru,yang menantang, yang sekilas nampak tidak masuk akal, yang mengandung misteri, atau segala sesuatu yang begitu mengusik rasa ingin tahunya, merupakan menu menggairahkan yang setiap waktu memenuhi perhatiannya.

Kebiasaan inilah yang mengondisikan pikiran orang-orang kreatif selalu dalam keadaan terbuka, peka, dan siap menerima hal baru. Kebiasaan ini memudahkan mereka beradaptasi dan merespon secara positif (positive thinking) berbagai bentuk perubahan di sekelilingnya. Inilah kelebihan orang-orang kreatif sehingga banyak perubahan, penemuan teknologi baru, atau karya-karya spektakuler yang muncul dari proses kreatif mereka.Hampir semua perubahan besardan strategis menuntut pergeseran-pergeseran atau bahkan pembalikan atas paradigma lama. Hanya dengan paradigma yang terbuka saja maka perubahan-perubahan besar bisa terjadi. Dalam dunia pemasaran pun, perubahan-perubahan radikal hanya bisa disuguhkan oleh perusahaan - perusahaan yang memberi peran penting kepada orang-orang kreatif.

2. Berani mencoba

Tak ada yang bisa menandingi keberanian orang-orang kreatif dalam bereksperimen dengan hal-hal baru, bahkan yang asing atau nampak tidak masuk akal. Sejalan dengan sikapnya yang terbuka dan hasrat ingin tahunya yang besar, orang kreatif selalu mencoba banyak hal baru. Orang kreatif sama saja dengan kebanyakan orang yang memiliki rasa takut terhadap hal-hal tertentu yang tidak sepenuhnya dia kenal. Yang membedakan dia dengan orang kebanyakan hanyalah pada tingkat keberaniannya untuk mencoba.Dengan mencoba orang kreatif menemukan banyak hal baru, memecahkan teka-teki atau misteri yang membuatnya penasaran, dan tentu saja memuaskan hasrat ingin tahunya yang begitu besar. Pengalaman mencoba adalah sesuatu yang sangat bernilai bagi orang kreatif. Ini membawanya kepada kebiasaan berikutnya yang tak kalah pentingnya; menyukai tantangan.

3. Menyukai tantangan

Jika ditanya hal apa yang bisa begitu menggerakkan orang-orang kreatif menuju karya-karya spektakulernya,jangan heran kalau jawabannya adalah tantangan. Orang-orang kreatif adalah para master dalam membangkitkan antusiasme dan motivasi berkreasi dari dalam maupun dari luar. Ia bisa menciptakan tantangan-tantangan pribadi dan merespon secara kuat tantangan dari luar. Tantangan selalu mengusik, mengganggu, bahkan menghantui orang kreatif. Pada saat yang sama, tantangan menjadi sumber energi yang luar biasa yang memacunya untuk berani menghadapi, bahkan mengalahkan tantangan tersebut.

Jadi, tantangan menjadi bagian dari aktualisasi diri orang-orang kreatif. Menyongsong tantangan selalu berarti kesempatan untuk meneguhkan jatidirinya.Sementara menghindari atau melewatkan tantangan selalu berarti mengeroposkan pondasi keyakinan diri dan eksistensinya. Maka jangan heran jika catatan rekor dunia dipenuhi oleh aksi-aksi ekstrim dan spektakuler dari orang-orang kreatif ini.

4. Mengolah

Hati-hati memberi perintah kepada orang kreatif. Jika perintah Anda tidak detail atau tanpa rambu-rambu yang jelas, bisa-bisa Anda jadi gemas dengan cara dia menggocek sana-sini untuk mencapai tujuan sesuai seleranya. Jangan berharap orang kreatif rela membiarkan sesuatu berjalan atau dalam keadaan seperti yang sudah-sudah, apa adanya,biasa-biasa saja, dan memuaskan orang-orang konservatif. Sebab itu jangan heran jika melihatnya sering sibuk menambah, mengurangi, membagi, memperkecil,memperbesar, memadukan, memoles, atau sedang menjungkir balikkan dalil-dalil konvensional.

Orang-orang kreatif sangat ahli dalam menyiasati berbagai bentuk aral eksternal. Mereka juga cenderung independen dalam melakukan aktivitasnya dan selalu memasukkan roh 'kepribadiannya' dalam proses tersebut. Proses kreatif -dan merambah ke segala bentuk proses - bagi orang kreatif berarti proses aktulaisasi diri. Dia selalu tertantang untuk mengolah aspek internal dan eksternal demi mencapai hasil --yang menurut perkiraan dan imajinasinya-- lebih baik, bernilai, unik, dan lebih bercita-rasa.

5. Imajinatif

Jika Anda melarang orang-orang kreatif berimajinasi, maka Anda seperti melempar mereka ke tengah-tengah gurun yang panas terik gersang meradang nan kerontang tanpa setetes air pun. Berlebihan!

Imajinasi adalah karunia ilahi yang dasyat yang hanya dihadiahkan Tuhan YME kepada mahkluk kesayangannya, yaitu umat manusia. Imajinasi adalah nafasnya kreatifitas. Tanpa imajinasi tidak ada kreatifitas. Dengan imajinasinya orang-orang kreatif mampu menciptakan dunia yang tak terbatasi oleh dimensi waktu; masa lalu, masa kini, masa mendatang,atau masa yang hingga kini belum terdefinisikan.

Orang kreatif terbilang memanjakan imajinasinya, sesuatu yang dia pelajari dari kebiasaan anak-anak dalam masa pertumbuhan mereka. Orang kreatif cenderung terus menyegarkan imajinasinya dengan teknik - teknik, stimulan-stimulan, aktivitas, kebiasaan, bahkan ritual tertentu. Dengan kekuatan imajinasi inilah orang mendapat bahan mentah bagi proses kreatif dan hasil inovatifnya.

6. Menyukai variasi

Orang kreatif kurang menyukai hal-hal yang sifatnya monolitik, monoton, dikotomis, hitam-putih, benar-salah,atau pengkategorian - pengkategorian yang membatasi ekspresi kreatifnya. Sebaliknya mereka terbiasa untuk berpikir alternatif, menyuguhkan pilihan-pilihan, dan variasi. Banyak hal terasa begitu cepat membosankan. Namun kebosanan mereka bukanlah kebosanan sederhana, kebosanan yang pemecahannya tergantung pada sumber-sumber pemenuhan dari luar dirinya. Kebosanan orangkreatif adalah kebosanan yang menantang dan menggerakkan dirinya untuk menemukan hal baru, dengan mendayagunakan sumber - sumber, potensi, dan kemampuannya sendiri.

7. Bergairah

Sikap terbuka, keberanian mencoba, suka tantangan,variasi, dan memanjakan imajinasi membuat orang-orang kreatif selalu bergairah dalam segala yang dikerjakannya. Mereka seperti menikmati aliran energi kreatif sehingga nampak begitu terfokus, tak kenal lelah, suka lupa waktu, dan enggan diganggu jika berada dalam zona kreatifnya. Kebiasaan orang-orang kreatif adalah menikmati dinamika masalah atau selalu mengalahkan tantangan yang dihadapi dengan antusias dan optimis. Ini yang membuat mereka begitu kaya dengan gagasan dan produktif dalam pekerjaannya. Jangan lupa, kegairahan tersebut juga menunjukkan kemampuan mereka dalam mengalirkan energi positif kepada diri sendiri maupun orang sekitar. Sebab itulah orang-orang kreatif cenderung menikmati humor, bahkan memanfaatkannya sebagai metode - metode khusus dalam memecahkan masalah. Tak sedikit dari mereka adalah penikmat atau produsen humor yang sejati.

Saat yang tepat tuk berkata jujur..

Saat yang tepat tuk berkata jujur..
by Abe Doel on Friday, December 11, 2009 at 5:12am

Ternyata kejujuran miliki efek yang berbeda bila diungkapkan di waktu yang berbeda, sebuah contoh dalam kehidupan berumah tangga, dimana Buya (sang suami) tidak terlalu suka masakan y ang pedas, karena bila mengkonsumsi makanan yang pedas, maka perut Buya langsung melilit, dan tentunya hal ini pun telah dikomunikasikan Buya pada Super Chef di rumah, yaitu Bunda (sang istri) walaupun belum tentu masakannya super,hehe ,, Suatu ketika, Bunda menyediakan beberapa masakan, dan ada di antara masakan itu yang pedas..

Jujur 1: Bunda akan memberitahu Buya masakan yang pedas, agar Buya berhati-hati..

Jujur 2: Setelah Buya selesai makan, termasuk menyikat masakan yang pedas (maklum laper) baru Bunda memberi tahu bahwa ada masakan yang pedas..

22nya jujur, tapi di waktu yang berbeda, berbedakah efeknya??..

Kawan, di atas hanya sebuah permisalan tentang sebuah kejujuran.. Jujur itu indah, namun akan lebih indah bila diungkapkan pada waktu yang baik pula,,

Mungkin kita punya pertimbangan sendiri kapan waktu yang tepat itu, tapi percayalah, semakin cepat semakin baik, karena kita tak pernah tau berapa lama sisa waktu yang kita miliki... Dan bila khawatir bahwa kejujuran itu akan mengakibatkan luka, maka ungkapkan dengan cara yang paling baik, bukan dengan menundanya....

Suatu ketika, ada sahabat Rasulullah yang memiliki putra kesayangan, dimanjanya sang putra dan diberikannya kasih sayang yang melimpah, ketika sahabat ini pergi berjihad di jalan Allah, sang anak jatuh sakit lalu meninggal.. Sang istri, demi mengetahui betapa besar kasih sayang sang suami terhadap putra mereka akhirnya berusaha menyampaikannya dengan cara yang paling indah.. Ia berpesan kepada semua orang agar tidak menyampaikan berita tersebut kepada sang suami, karena ia sendiri yang akan menyampaikannya..

Saat sang suami kembali dari medan laga, sang istri berhias dengan cantiknya, hingga sang suami lupa akan lelahnya dan bahagia akan sambutan hangat istrinya.. Setelah melewati malam yang bahagia, sang istri kemudian bertanya pada suaminya "Bagaimana bila ada seseorang yang menitipkan sesuatu pada kita untuk kita jaga, lalu saat kita menjaganya dengan baik dan mulai mencintainya, titipan tersebut diminta kembali oleh yang empunya?" lalu sang suami menjawab "Tentu akan kita kembalikan".. Lalu sang istri kembali bertanya "Apa Anda akan marah?".. sang suami menjawab bahwa ia tidak akan marah, karena hakikatnya itu adalah titipan.. Setelah mendengar jawaban sang suami, maka sang istri pun memberitahukan perihal putra mereka yang diambil kembali oleh Allah..

Alangkah terkejut dan marahnya sang suami saat mendengar berita tersebut, lalu ia mengadu kepada Rasulullah..

Saya lupa kelanjutan kisah ini,, tapi saya percaya bahwa Rasulullah telah memberi penghargaan pada sang istri akan kejujuran dan cara ia menyampaikan kejujuran tersebut.. Dan saya pun percaya, bahwa rumah tangga yang dihiasi kejujuran didalamnya akan jadi rumah tangga penuh berkah Allah SWT..

Semoga ada kejujuran dan kebaikan dalam setiap ucap yang terlontar dari bibir kecil kita..


Wallahua'lam...

Memberi yang Kita Butuhkan

Saudaraku,
Sulit memahami sikap-sikap mulia para sahabat dan salafushalih. Ada banyak bentuk pengorbanan yang mereka lakukan untuk kepentingan orang, tapi sangat sukar dicerna oleh logika keduniaan dan kemanusiaan kita. Bayangkanlah apa yang dilakukan seorang sahabat Anshar untuk memuliakan seorang tamu yang sama sekali tidak begitu ia kenal sebelumnya. Ketika suatu hari ada sesorang mendatangi Rasulullah saw namun Rasul tidak memiliki makanan apapun untuk dihidangkan. “Siapa yang bisa memberi hidangan kepadanya?” tanya Rasulullah kepada para sahabatnya. Serta merta seorang sahabat Anshar langsung menyambutnya. “Saya ya Rasulullah,” katanya.

Tahukah kita, bila sebenarnya kondisi sahabat Anshar itu pun tak mempunyai makanan apapun, kecuali makanan untuk anak-anaknya? Karena ketika ia pulang ke rumahnya dan menceritakan masalah itu kepada isterinya. Sang isteri lalu mengatakan lirih, “Kita tidak mempunyai apa-apa untuk tamu itu, kecuali makanan untuk anak kita.”

Apa sikap sahabat Anshar yang sulit dicerna oleh logika kita itu? Lihatlah, bagaimana ketulusan sahabat untuk memuliakan sang tamu yang luar biasa. Ia menginstruksikan isterinya untuk menghidangkan apapun makanan yang mereka punya, mematikan lampu rumah dan menidurkan anaknya kelaparan jika bangun ingin makan malam. Saat sang tamu datang, rumahnya gelap dan tuan rumah menawarkan sang tamu untuk makan bersama. Ia sengaja mematikan lampu, agar tampak sepertinya ia mendampingi sang tamu makan pada malam itu. Padahal ia sekeluarga, melewati dingin sepanjang malam tidak makan dan menahan lapar. Ketika Rasulullah saw mendengar sikap sahabat Anshar itu, ia tersenyum dan mengatakan, “Allah swt tertawa pada malam itu. Dia kagum dengan apa yang kalian berdua lakukan itu.”

Bagaimana logika kita memaknai sikap seperti ini saudaraku? Seperti itulah bentuk pengorbanan yang dicontohkan para sahabat radhiallahu anhum. Kita memang sulit menafsirkan cara berfikir mereka yang mengorbankan kebutuhan pribadi dan keluarga, hanya untuk seorang tamu. Itu karena kita mungkin lebih sering berfikir dengan naluri pertimbangan keduniaan ketimbang pertimbangan keakhiratan. Kita mungkin lebih sering menimbang masalah dari sudut kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam pikiran kita, tapi lebih mengecilkan peran-peran Allah swt. Kita mungkin lebih banyak menggunakan logika soal batas kemampuan kita dalam melakukan ketaatan, padahal Allah swt pasti menyediakan kemampuan manusia untuk melakukan apapun untuk taat kepada-Nya.

Saudaraku,
Sikap sahabat Anshar itulah yang kemudian membuat Allah tertawa karena takjub terhadap ketulusan dan kebaikan hamba-Nya. Bayangkanlah, Allah tertawa karena takjub terhadap sikap hamba-Nya.

Saudaraku,
Sahabat dari kalangan Anshar memang memiliki banyak keistimewaan, salah satunya adalah sikap mereka yang sangat mementingkan kepentingan orang lain ketimbang diri mereka sendiri. Mereka jalani pengorbanan-pengorbanan besar seperti itu dengan hati lapang, tentram, tenang. Syaikh As-Sadiy rahimahullah, dalam tafsirnya mengatakan, “Lebih mengutamakan orang lain, adalah salah satu kelebihan sifat kaum Anshar ketimbang yang lainnya. Kaum Anshar memiliki sifar lebih mendahului orang lain dalam hal harta dan lainnya, padahal mereka sendiri sedang membutuhkannya. Sekalipun mereka dalam tingkat darurat dan mendesak untuk kebutuhan itu.” (Tafsir As Sadiy, Taysir fi Tafsir Kalam Al Manan, 1025).

Renungkanlah sikap seorang sahabat yang sangat ingin berderma dan membantu orang lain, namun ia tak memiliki harta. Ya Rasulullah, katanya suatu ketika. “Aku benar-benar tidak mempunyai harta untuk disedekahkan pada orang lain. Tapi aku telah bersedekah untuk mereka dengan kehormatanku. Jika ada orang yang memukul atau menuduhku, ia tetap bebas dariku.” Sampai-sampai Rasulullah saw bersabda, “Siapa diantara kalian yang bisa berlaku seperti Abu Dhamdham, maka lakukanlah.”

Saudaraku,
Tidak heran jika banyak dianara para sahabat itu yang rela gugur syahid di medan peperangan, yang artinya sama dengan menyerahkan nyawa untuk agama dan kemuliaan umatnya. Tidak heran jika salah satu syiar hidup yang mereka jadikan pegangan adalah syair, “In lam yakun bika alayya ghadab, falaa ubaalii.” “Ya Allah, selama Engkau tidak murka kepadaku, maka apapun yang kualami, aku tidak peduli.” Mereka juga begitu menghayati prinsip hidup sebgaimana bunyi syair, “Idzaa aradta an tas’ada fi asadil akharin,” “ jika engkau meraih bahagia, bahagiakanlah orang lain.”

Merka bisa memilih dan menempatkan sikap yang tepat. Jika mereka menginginkan ridha Allah, maka mereka akan mengabaikan apapun keridhaan yang lainnya yang menghalangi mereka untuk meraih ridha Allah. Jika mereka meraih kebahagiaan akhirat, mereka akan membuang keinginan kebahagiaan semu yang bisa menjauhkannya dari keinginan bahagia di akhirat. Jika mereka ingin menapaki jalan yang bisa mengantarkan mereka pada surga, maka mereka akan menutup semua pintu yang bisa mengarahkannya pada jalan selain surga. Seperti yang pernah dikatakan orang shalih, “Jika manusia takut pada neraka sebagaimana ia takut pada kemiskinan, niscaya ia akan selamat dari keduanya. Kalau ia menginginkan surga sebagaimana ia menginginkan kekayaan, niscaya ia akan mendapatkan keduanya. Dan jika ia takut pada Allah dalam hatinya sebagaimana ia takut pada Allah dalam perilakunya secara lahir, niscaya ia akan bahagia di dunia dan di akhirat.”

Mereka adalah orang-orang yang sangat peka pada peran-peran yang harus dilakukannya untuk orang lain. Mereka tetap bisa meraba sesuatu sebagai nikmat Allah swt di saat orang lain menganggap sesuatu itu bukan nikmat Allah swt. Seorang murid dari ulama terkenal, Fudhail bin Iyadh rahimahullah, bercerita, “Aku pernah bersama sorang yang alim, Fudhail bin Iyadh. Suatu ketika ada seseorang yang datang dan meminta uang darinya berulang kali. Aku mengatakan pada orang itu, ‘Pergilah! Jangan ganggu syaikh.’ Tapi Fudhail malah mengatakan, ‘Diamlah, tidakkah engkau tahu bahwa kebutuhan orang kepada kamu itu adalah nikmat Allah kepadamu. Hati-hatilah kalian jika kalian tidak bersyukur terhadap nikmat Allah lalu berubah menjadi bencana. Tidakkah engkau justru memuji Allah karena masih ada orang yang meminta kepadamu?”

Saudaraku,
Coba kita lakukan, ikhlas dan tulus memberi orang lain dengan sesuatu yang kita butuhkan, demi menutupi kebutuhan orang itu. Bagaimana rasanya saudaraku?_

Kunci Membersihkan Hati

Kesuksesan dalam konsep manajemen qolbu adalah bagaimana kita secara konsisten dapat terus melakukan pembersihan hati di sepanjang kehidupan. Kita harus ingat bahwa faktor kunci keberhasilan agar kita bisa bertemu dengan Allah SWT adalah kebersihan hati atau qolbun saliim. Jadi, puncak kesuksesan bermuara pada kebersihan hati. Lalu, wahana pembersih hati adalah tekad (niat) yang kuat.

"Sesungguhnya amal perbuatan itu pasti mengandung niat, dan setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya...." (HR Bukhari-Muslim). Ya, kita tidak bisa meremehkan tekad atau kemauan karena ini ibarat generator yang menggerakkan aktivitas positif kita. Sebuah lampu mampu untuk menyala terus-menerus jika ada listrik yang mengalir. Listrik akan mengalir hanya jika generator dihidupkan. Jadi, kalau diumpamakan bahwa kita bisa saja punya kemampuan. Namun, kemampuan itu tidak akan berfungsi manakala tidak ada yang menggerakkannya.

Jadi, pada dasarnya kita sebenarnya mampu untuk shalat tahajud dan shaum Senin-Kamis. Namun, terkadang kita tidak punya tekad untuk melaksanakannya, kita tidak punya penggerak untuk itu. Kita sebenarnya mampu untuk mengubah diri kepada yang lebih baik, tetapi kita tidak punya tekad untuk itu. Setelah tekad, kunci kedua adalah "ilmu" memahami diri. Memahami dan mengenali diri ada ilmunya. Sebagai ilustrasi, jika saya harus mengadakan ceramah di Yogya, saya harus tahu berapa lama dan berapa panjang jarak menuju Yogya itu. Dengan pengetahuan saya terhadap seluk beluk Yogya, saya akan bisa mengelola diri secara efektif. Demikian pula halnya untuk membersihkan hati dan memahami diri kita, akan berlangsung efektif jika kita benar-benar mengenal benar diri kita sampai yang sekecil-kecilnya.

Dengan demikian, seseorang bisa membersihkan hati apabila dia terus-menerus memperbaiki keadaan dirinya yang dirasakan memiliki banyak kekurangan. Ilmu memahami diri ini berbanding lurus dengan tekad. Semakin keras upaya-upaya yang dilakukan seseorang untuk menelusuri siapa dirinya, tentulah tekad untuk memperbaiki diri semakin besar pula. Lalu, semakin besar tekad tersebut maka semakin besar pula kadar ilmu pemahaman diri yang dimiliki.

Ada sebuah fenomena bahwa kini banyak orang yang lebih suka menyibukkan diri untuk memahami sesuatu di luar dirinya. Mereka kurang berkonsentrasi untuk memahami dirinya sendiri. Seberapa banyak sebenarnya kita menuntut ilmu misalnya menghadiri pengajian, mendengarkan radio, melihat acara-acara di televisi, dan bersekolah menuntut ilmu yang tinggi, yang kemudian berdampak pada penguatan tekad kita untuk memahami diri kita? Apakah kita benar-benar, setiap hari, bersedia memahami diri kita? Inilah pentingnya ilmu mengenali diri. Dari sinilah kemudian lahir apa yang menjadi tahapan ketiga upaya membersihkan hati.

Kunci ketiga adalah rajin mengevaluasi diri. Dalam konsep manajemen waktu ada istilah pemetaan dan pembagian waktu. Jika kita hidup dalam 24 jam sehari, tentu kita bisa memetakan waktu tiap jam, tiap menit, bahkan tiap detiknya. Nah, dari pemetaan tersebut, apakah selama ini kita sudah menyediakan waktu untuk mengevaluasi diri?

Sesungguhnya Allah telah mengingatkan manusia betapa pentingnya waktu. Manusia yang profesional adalah manusia yang mampu mengelola waktunya secara efektif. Manusia yang bernilai adalah manusia yang mampu menyediakan waktunya untuk mengevaluasi diri dan saling menasihati dalam hal kebenaran dan kesabaran. "Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan menetapi kesabaran." (QS al-Ashr [103]: 1-3)

Sehari-hari kita menghadapi berbagai sifat dan watak orang, termasuk merasakan watak diri kita sendiri. Jika orang lain membentak ataupun menegur kita yang sombong, otak kita akan merespons apa itu sombong dan apa yang menyebabkan saya sombong. Lalu, hati kita pun diajak berdialog: "Benarkah saya sombong?" Proses itu terjadi karena kita sudah mengenal kriteria (ilmu) kesombongan. Dengan kriteria itulah kita mengetahui hakikat sombong dan akibatnya. Dari situ kita lalu berpikir: "Wah, benar saya ini sombong" atau "Ah, rasanya saya biasa saja, tidak sombong." Proses berpikir ini biasa disebut tafakur. Jika kita sombong, apakah bisa kita menahan kesombongan itu? Jika kita merasa tidak sombong, benarkah apa yang kita lakukan bukan merupakan kesombongan?

Nah, lebih jelasnya bisa saya contohkan seperti ini. Dahulu saya tidak tahu mengapa di wajah saya tumbuh jerawat. Lantaran saya tidak mengerti ilmu perjerawatan ini, saya pun suka mengorek-ngorek jerawat. Akhirnya, jerawat malah timbul banyak. Dan kadang-kadang karena ketidaktahuan saya tentangnya, muncullah infeksi di wajah saya. Namun, setelah saya tahu ilmu perjerawatan, akhirnya saya malah dapat membersihkan jerawat saya. Misalnya saja, jerawat itu akan muncul apabila wajah saya kotor, dan sebagainya. Saya lalu mampu mengendalikan wajah saya dan akhirnya wajah saya bersih dari jerawat.

Kunci keempat adalah upaya membuka diri terhadap kritik yang datang dari luar diri kita. Di sinilah seseorang bisa mempraktikkan kebesaran hati yang dimilikinya. Ia akan dengan lapang dada menerima ketidaksenangan dan keraguan orang lain terhadap dirinya. Bukankah kita sangat diuntungkan dengan adanya pribadi-pribadi yang secara ikhlas mengontrol sikap kita? Mengapa kita harus khawatir dan takut dikritik? Bukankah kritik pedas yang ditujukan kepada kita sama halnya dengan rezeki yang tidak disangka-sangka? Mengapa rezeki? Karena kita sudah dibantu oleh orang-orang di sekitar kita (mungkin termasuk orang-orang yang membenci kita) untuk senantiasa memberikan masukan kepada kita dan masukan itu sangat berharga bagi ikhtiar perbaikan diri.

Terakhir, kunci kelima yaitu becermin pada perilaku orang lain. Kita tidak akan mungkin membersihkan kotoran ataupun kumis dan janggut di wajah jika tidak menggunakan cermin. Cermin memberikan kesempatan bagi kita untuk melihat secara jelas apa yang sebelumnya tidak terlihat. Dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari, cermin adalah orang-orang di sekitar kita, baik yang kita kenal akrab maupun yang belum kita kenal. Allah menciptakan berbagai orang dengan berbagai sifat sebagai cermin bagi kita. Subhanallah!

Sifat orang akan bermanfaat sebagai cermin jika kita mengenakan ukuran-ukuran sifat itu kepada diri kita sendiri. Misalnya, jika kita melihat seseorang menunjukkan kesombongannya, lantas diri kita hanya bisa berkata, "Ah, sombong betul orang itu," atau kemudian apakah keadaan sombong itu kita kembalikan kepada diri kita? Tentulah tidak ada gunanya apabila kita hanya mengatakan bahwa, "Orang itu sombong". Yang akan bermanfaat bagi kita adalah jika kesombongan yang terjadi di dalam diri orang lain itu kita kendalikan agar kita tidak menjadi sombong.

Sebenarnyalah perilaku orang-orang di sekitar kita bisa menjadi percepatan pembelajaran bagi kita untuk membersihkan hati. Kita menjadikan hidup ini lebih efektif dengan mempelajari perilaku orang-orang di sekitar kita untuk memperbaiki diri, bahkan hal ini lebih efektif daripada sekadar membaca buku tentang pengembangan diri yang lebih banyak dimuati teori. Misalnya, ada orang yang kata-katanya gampang menyakiti orang lain. Hidup kita akan menjadi efektif jika kita tidak memberikan komentar atas orang itu dan kita berupaya saja terhindar agar tidak menjadi orang seperti itu. Wallahua'lam.

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Tafakur

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Tafakkuruu fii khalqiLlahi wa laa tafakkaruu fiiLlahi, berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah.” Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas ini menurut Syaikh Nashiruddin Al-Bani dalam kitab Shahihul Jami’ish Shaghir dan Silsilahtu Ahadits Ash-Shahihah berderajat hasan.

Hadits itu berbicara tentang salah satu ciri khas manusia yang membedakanya dari makhluk yang lain, bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir. Dengan kemampuan itulah manusia bisa meraih berbagai kemajuan, kemanfaatan, dan kebaikan. Namun, sejarah juga mencatat bahwa tidak sedikit manusia mengalami kesesatan dan kebinasaan akibat berpikir.

Karena itu, Rasulullah saw. menghendaki kita, kaum muslimin, untuk punya budaya tafakur yang akan bisa mengantarkan kita kepada kemajuan, kemanfaatan, kebaikan, ketaatan, keimanan, dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Agar tujuan itu tercapai, Rasulullah saw. memberi rambu-rambu agar kita tidak salah dalam bertafakur. Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk bertafakur mengenai makhluk ciptaan Allah swt. Beliau melarang kita berpikir tentang Dzat Allah karena kita tidak akan mampu menjangkaunya, dan berpikir tentang Dzat Alllah bisa mengantarkan kita kepada kesesatan dan kebinasaan.

FADHAAILUT TAFAKKURI (KEUTAMAAN TAFAKUR)

Setidaknya ada empat keutamaan tafakur, yaitu:

1. Allah memuji orang-orang yang senantiasa bertafakur dan berdzikir dalam setiap situasi dan kondisi dengan menceritakannya secara khusus dalam Al-Qur’an di surat Ali Imran ayat 190-191. Sa’id Hawa dalam Al-Mustakhlash Fi Tazkiyatil Anfus halaman 93 berkata, “Dari ayat ini kita memahami bahwa kemampuan akal tidak akan terwujud kecuali dengan perpaduan antara dzikir dan pikir pada diri manusia. Apabila kita mengetahui bahwa kesempurnaan akal berarti kesempurnaan seorang manusia, maka kita bisa memahami peran penting dzikir dan pikir dalam menyucikan jiwa manusia. Oleh karena itu, para ahli suluk yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah senantiasa memadukan antara dzikir dan pikir di awal perjalanannya menuju Allah. Sebagai contoh, di saat bertafakur tentang berbagai hal, mereka mengiringinya dengan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil.”

2. Tafakur termasuk amal yang terbaik dan bisa mengungguli ibadah. Ada atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban berbunyi, “Berpikir sesaat lebih utama daripada ibadah setahun.” Kenapa begitu? Karena, berpikir bisa memberi manfaat-manfaat yang tidak bisa dihasilkan oleh suatu ibadah yang dilakukan selama setahun. Abu Darda’ seorang sahabat yang terkenal sangat abid pernah ditanya tentang amalan yang paling utama, ia menjawab, “Tafakur.” Dengan tafakur seseorang bisa memahami sesuatu hingga hakikat, dan mengerti manfaat dari yang membahayakan. Dengan tafakur, kita bisa melihat potensi bahaya hawa nafsu yang tersembunyi di dalam diri kita, mengetahui tipu daya setan, dan menyadari bujuk rayu duniawi.

3. Tafakur bisa mengantarkan kita kepada kemuliaan dunia dan akhirat. Ka’ab bin Malik berkata, “Barangsiapa menghendaki kemuliaan akhirat, maka hendaknyalah ia memperbanyak tafakur.” Hatim menambahkan, “Dengan merenungi perumpamaan, bertambahlah ilmu pengetahuan; dengan mengingat-ingat nikmat Allah, bertambahlah kecintaan kepadaNya; dan dengan bertafakur, bertambahlah ketakwaan kepadaNya.” Imam Syafi’i menegaskan, “Milikilah kepandaian berbicara dengan banyak berdiam, dan milikilah kepandaian dalam mengambil keputusan dengan berpikir.” (lihat Mau’idhatul Mu’minin)

4. Tafakur adalah pangkal segala kebaikan. Ibnul Qayyim berkata, “Berpikir akan membuahkan pengetahuan, pengetahuan akan melahirkan perubahan keadaan yang terjadi pada hati, perubahan keadaan hati akan melahirkan kehendak, kehendak akan melahirkan amal perbuatan. Jadi, berpikir adalah asas dan kunci semua kebaikan. Hal ini bisa menunjukkan kepadamu keutamaan dan kemuliaan tafakur, dan bahwasanya tafakur termasuk amalan hati yang paling utama dan bermanfaat sampai-sampai dikatakan, ‘Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah setahun’. Tafakur bisa mengubah dari kelalaian menuju kesadaran, dan dari hal-hal yang dibenci Allah menuju hal-hal yang dicintaiNya, dari ambisi dan keserakahan menuju zuhud dan qana’ah, dari penjara dunia menuju keluasan akhirat, dari kesempitan kejahilan menuju bentangan ilmu pengetahuan, dari penyakit syahwat dan cinta kepada dunia menuju kesembuhan ruhani dan pendekatan diri kepada Allah, dari bencana buta, tuli, dan bisu menuju nikmat penglihatan, pendengaran, dan pemahaman tentang Allah, dan dari berbagai penyakit syubhat menuju keyakinan yang menyejukkan hati dan keimanan yang menentramkan.” (Miftah Daris Sa’adah: 226).

NATAAIJUT TAFAKKURI (BUAH TAFAKUR)

1. Kita akan mengetahui hikmah dan tujuan penciptaan semua makhluk di langit dan bumi sehingga menambah keimanan dan rasa syukur.

Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan Pertemuan dengan Tuhannya. [Ar-Ruum, 8]

2. Kita bisa membedakan mana yang bermanfaat sehingga bersemangat untuk meraihnya, mana yang berbahaya hingga berusaha mengindarinya.

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ” yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. (Al-Baqarah: 219)

3. Kita bisa memiliki keyakinan yang kuat mengenai sesuatu, dan menghindari diri dari sikap ikut-ikutan terhadap opini yang berkembang.

Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras. (Saba: 46)

4. Kita bisa memperhatikan hak-hak diri kita untuk mendapatkan kebaikan, sehingga tidak hanya berusaha memperbaiki orang lain dan lupa pada diri sendiri.

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (Al-Baqarah: 44)

5. Kita bisa memahami bahwa akhirat itu lebih utama, dan dunia hanya sarana untuk membangun kebahagiaan akhirat.

Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul), dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? (Yusuf: 109)

Dan apa saja[1130] yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka Apakah kamu tidak memahaminya? (Al-Qashash: 60). [1130] Maksudnya: hal-hal yang berhubungan dengan duniawi seperti, pangkat kekayaan keturunan dan sebagainya.

6. Kita bisa menghindari diri dari kebinasaan yang pernah menimpa orang-orang sebelum kita.

Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (Muhammad: 10)

7. Bisa menghindari diri dari siksa neraka karena bia memahami dan mengamalkan ajaran agama dan meninggalkan kemaksiatan dan dosa-dosa, terutama syirik.

Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Al-Mulk: 10)

Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka Apakah kamu tidak memahami? (Al-Anbiyaa’ : 67)

DHAWABITHUT TAFAKKURI (BATASAN TAFAKUR)

Imam Al-Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa semua yang ada di alam semesta, selain Allah, adalah ciptaan dan karya Allah Ta’ala. Setiap atom dan partikel, apapun memiliki keajaiban dan keunikan yang menunjukkan kebijaksanaan, kekuasaan, dan keagungan Allah Ta’ala. Mendata semuanya adalah sesuatu yang mustahil, karena seandainya lautan adalah tinta untuk menuliskan semua itu niscaya akan habis sebelum menuliskan sepersepuluhnya saja dari semua ciptaan dan karya-Nya.”

Jadi, tafakur adalah ibadah yang bebas dan terlepas dari ikatan segala sesuatu kecuali satu ikatan saja, yaitu tafakur mengenai Dzat Allah.

Saat bertafakur sebenarnya seorang muslim sedang berusaha meningkatkan ketaatan, menghentikan kemaksiatan, menghancurkan sifat-sifat destruktif dan menumbuhkembangkan sifat-sifat konstruktif yang ada dalam dirinya. Berhasil tidaknya hal itu dicapai sangat dipengaruhi banyak faktor, di antaranya:

1. Kedalaman ilmu
2. Konsentrasi pikiran
3. Kondiri emosional dan rasional
4. Faktor lingkungan
5. Tingkat pengetahuan tentang objek tafakur
6. Teladan dan pergaulan
7. Esensi sesuatu
8. Faktor kebiasaan

KENAPA KITA DILARANG TAFAKKUR MENGENAI DZAT ALLAH SWT.?

Setidaknya ada dua alasan, yaitu:

1. Kita tidak akan sanggup menjangkau kadar keagunganNya.

Allah swt. tidak terikat ruang dan waktu. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagi Tuhanmu tidak ada malam, tidak pula siang. Cahaya seluruh langit dan bumi berasal dari cahaya wajah-Nya, dan Dia-lah cahaya langit dan bumi. Pada hari kiamat, ketika Allah datang untuk memberikan keputusan bumi akan tenang oleh cahayaNya.

(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. (Asy-syuuraa: 11)

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (Al-An’am: 103)

Ibnu Abbas berkata, “Dzat Allah terhalang oleh tirai sifat-sifat-Nya, dan sifat-sifat-Nya terhalang oleh tirai karya-karya-Nya. Bagaimana kamu bisa membayangkan keindahan Dzat yang ditutupi dengan sifat-sifat kesempurnaan dan diselimunti oleh sifat-sifat keagungan dan kebesaran.”

2. Kita akan terjerumus dalam kesesatan dan kebinasan.

Memberlakukan hukum Sang Khalik terhadap makhluk ini adalah sikap ghulluw (berlebihan). Itulah yang terjadi di kalangan kaum Rafidhah terhadap Ali r.a. Sebaliknya, memberlakukan hukum makhluk terhadap Sang Khalik ini sikap taqshir. Perbuatan ini dilakukan oleh aliran sesat musyabihhah yang mengatakan Allah memiliki wajah yang sama dengan makhluk, kaki yang sama dengan kaki makhluk, dan seterusnya. Semoga kita bisa terselamatkan dari kesesatan yang seperti ini. Amiin.

Oleh: Mochamad Bugi