bergantunglah, hanya kepada Allah swt

“Ya Allah peliharalah aku dengan Islam ketika aku berdiri. Peliharalah aku dengan Islam ketika aku duduk. Peliharalah aku dengan Islam ketika aku terbaring. Jangan gembirakan orang yang memusuhiku dan yang menyimpan dengki kepadaku. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu semua kebaikan yang ada di Tangan-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari seluruh simpanan kejahatan yang ada di Tangan-Mu.” (HR. Al Hakim dalam Mustadrak, 1/525)

Ini adalah doa yang diucapkan oleh amirul mukminin, Umar bin Khattab ra. Kelihatannya sederhana. Meminta perlindungan Allah swt dari segala sisi. Memohon semua kebaikan dan menolak kejahatan. Tapi, curahan kata-kata itu begitu mencakup seluruh bentuk tameng perlindungan yang harus dipintakan seorang hamba kepada Allah swt.

Tapi pernahkah kita merasakan begitu sulitnya merangkai kata-kata dan kalimat dalam sebuah do’a kepada pemilik sifat Ash Shamad, Tempat Meminta. Pernahkah kita merasakan kesulitan merangkum permohonan dan menumpahkannya dalam do’a kepada Yang Maha Kaya. Bukan karena kita yang tidak pandai menyusun kata, karena do’a memang tidak harus dibumbui dengan kata-kata puitis yang justru semakin sulit dipahami. Masalahnya, lidah terasa kelu untuk meminta, dan jiwa sulit sekali dipertemukan dengan bait-bait kata yang menyimpan permohonan sangat dan menyeluruh kepada Allah swt, Yang Maha Kuasa atas segalanya.

Saudaraku,
Tahukah apa rahasia di balik keindahan do’a dan kesempurnaan munajat yang diucapkan oleh orang-orang shalih? Sesungguhnya untaian kata dalam do’a adalah ekspresi dari kedalaman perasaan mereka terhadap apa mereka pintakan kepada Allah swt. Rasa begitu bergantung dan bersandar pada ke Maha Kuasa dan Maha Besaran Allah swt sehingga menjadikan mereka bertenaga dalam mengungkapkan harapannya kepada Allah swt sebagai satu-satunya tempat untuk meminta.

Begitula, untaian kata dan hubungannya dengan letupan serta gelora yang ada dalam jiwa. Rasulullah saw dan para sahabatnya, yang memiliki tingkat ketaqwaan dan ketawakalan sangat tinggi kepada Allah swt, begitu indah mengungkapkan kata demi kata yang mencakup harapannya kepada Allah swt. Para hamba-hamba Allah swt yang shalih itu, mempunyai keyakinan dan iman yang menyala-nyala dalam batinnya, hingga mereka begitu nikmat mengeluarkan rangkaian kata untuk memohon kepada Allah swt secara menyeluruh. Mereka begitu memiliki kedekatan yang intim kepada Allah swt dalam sehari-harinya, lalu mereka begitu mudah berinteraksi, berbicara, berdialog, meminta, memohon, bermunajat, berkeluh kesah, bercerita kepada-Nya.

Saudaraku,
Mari perhatikan lagi, bagaimana bunyi salah satu do’a yang dipanjatkan Rasulullah saw seperti disampaikan oleh Abdullah bin Umar ra. Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan untaian do’a ini ketika pagi dan sore: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ampunan dan kesalamatan dalam agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allah tutuplah auratku. Lindungilah ketakutanku. Ya Allah peliharalah aku dari hadapanku, dari belakangku, dari sisi kananku, dari sisi kiriku, dari atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu diserang dari bawahku.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Saudaraku,
Seperti itulah permohonan yang dipanjatkan oleh Rasulullah saw. Mohon agar perlindungan Allah swt selalu menyertainya dari semua sudut, dari semua sisi, tanpa celah dan lubang yang tersisa, dan di setiap waktu. Meminta agar Allah swt tidak pernah membiarkannya menjadi incaran dan korban semua kejahatan dari makhluk-makhluk-Nya. Sungguh-sungguh memanjatkan harapan agar Allah swt menyelamatkan agama, dunia dan akhiratnya, menutupi kekurangannya, membentengi ketakutannya.

Pernahkah kita begitu bergantung kepada Allah swt hingga memanjatkan do’a yang sangat menyeluruh seperti ini? Muatan sebuah do’a benar-benar merupakan pantulan dari ketergantungan seseorang yang begitu tinggi kepada Allah swt. Dan seperti itulah jiwa Rasulullah saw, para sahabatnya juga orang-orang shalih. Hingga ketergantungan yang demikian besar itu, seorang shalih dahulu, pernah menuliskan surat kepada saudaranya begiru singkat. Katanya, “Wa ba’du. Jika Allah swt bersamamu, siapa lagi yang engkau takuti ?? tapi jika Allah swt meninggalkanmu, kepada siapa engkau meminta?? Wassalam.”

Merenunglah disini,
Tentang ketergantungan kita kepada Yang Maha Kuat. Tentang nyala keimanan dan keyakinan kita kepada Penguasa Kehidupan. Tentang kedekatan dan keintiman kita kepada Pencipta Kehidupan…

Semakin kita memiliki anasir ketergantungan yang kuat kepada Allah swt seperti itu, kita akan lebih mudah mengucapkan untaian kata permohonan kepada Allah swt. Dan lidah kita, semoga tidak lagi begitu kelu mengutarakan munajat kepada Allah swt. Kita semakin merasakan kenikmatan saat meminta dan bersandar kepada Al Qadir, Yang Maha Kuasa….

Saudaraku,
Soal penanaman nilai ketergantungan kepada Allah swt, dilakukan oleh Rasulullah saw kepada sahabatnya dengan begitu kuat. Diriwayatkan, Rasulullah saw pernah memba’iat para sahabatnya untuk tidak meminta kepada sesama manusia untuk keperluan apapun. Mereka yang dibai’at ketika itu adalah Abu Bakar Shiddiq, Abu Dzar, Tsuban, dan beberapa orang lainnya, radiallahu anhum. Disebutkan dalam shirah, orang-orang yang dibai’at Rasulullah itu kemudian tidak pernah meminta tolong kepada orang lain. Jika tali kekang atau kendali untanya jatuh, ia akan turun dan mengambilnya sendiri dan tidak meminta tolong orang lain untuk mengambilkannya. (HR. Muslim)

Itulah tawakal,
Ketergantungan yang menjadikan seseorang itu tahu bahwa dirinya hanya bersandar dan berharap kepada-Nya. Lalu secara otomatis sangat memelihara diri dari penyimpangan yang bisa menjadi indikasi keterlepasannya dari ketergantungannya kepada Allah swt. Dan Allah swt pasti menjaga hamba-hamba-Nya yang sangat bergantung kepada-Nya.

Post a Comment