Sekarang Juga Berdo’alah

Saudaraku,
Apa yang kita pinta dari Allah swt? Allah itu dekat. Sangat dekat. “Jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka sesungguhnya Aku sdekat. Aku menjawab permintaan orang yang meminta jika ia meminta kepada-Ku…” (QS. Al Baqarah:186). Maka pintalah kepada Allah, karena Dia dekat dan pasti mengabulkan permintaan siapa pun yang meminta kepada-Nya.

Ada tiga masalah penting yang dapat kita garis bawahi dari firman Allah itu. Pertama, Allah menisbatkan diri-Nya kepada kita selaku hamba-Nya, dalam kata ‘ibaadii’ yang artinya hamba-hamba-Ku. Penyandaran nama Allah pada kita selaku hamba Allah merupakan tanda kedekatan Allah kepada kita. Tanda bahwa Allah begitu sayang dan sangat memperhatikan kita.

Kedua, Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Aku dekat…” Jawaban itu tanpa perantara. Allah swt seperti menghapus kalimat ‘qul lahum´ (katakanlah kepada mereka) yang lazimnya ada setelah kalimat ‘wa idza saalaka ibaadii annii’ (jika salah seorang hamba-Ku bertanya tentang Aku). Allah segera menjawab langsung dengan ‘fa ‘innii qariib’ (sesungguhnya Aku dekat). Ungkapan seperti ini menandakan bahwa pintu Allah swt selalu terbuka. Allah swt memang dekat bagi siapa saja yang menyeru-Nya. Allah swt Maha Pemaaf terhadap hamba-Nya yang bertaubat kepada-Nya.

Ketiga, Allah swt segera menyatakan, ‘ujiibu da’wata daa’ii idza da’aanii’ (Aku mengabulkan permohonan jika ia memohon kepada-Ku). Firman Allah swt ini langsung ditegaskan setelah ‘fa ‘innii (sesungguhnya Aku dekat). Artinya, Allah swt tidak memerlukan lagi kalimat ‘Aku mendengarkan pinta mereka’, tapi tanpa jarak langsung mengutarakan ‘Aku mengbulkan permohonan jika ia memohon kepada-Ku.’ Itu sebabnya, Sayyid Quthb rahimahullah menyebut ayat ini dengan kalimat ‘aayah ajiibah’ (firman Allah yang menakjubkan). “Ayat ini menanamkan dalam hati orang beriman, sebuah panggilan yang menyejukkan, penuh kasih sayang dan kedekatan, keridhaan yang menenagkan, kepercayaan penuh, keyakinan yang tinggi…,” tulis Sayyid Quthb dalam kitab Fii Dzilal Al Qur’an.

Saudaraku,
Allah itu dekat. Allah swt lebih dekat dari sekadar orang tua, suami, isteri, saudara, apalagi teman dan sahabat. Bahkan tidak ada yang lebih dekat kepada diri kita kecuali Allah. Maka optimislah dengan do’a-do’a yang kita penjatkan kepada Allah swt. Karena Allah bisa mengabulkan do’a para nabi, para rasul, para wali-Nya, musuh-musuh-Nya, bahkan iblis sekalipun. Iblis, makhluk Allah yang paling dimurkai, dikabulkan permintaannya kepada Allah swt saat ia meminta penangguhan masa hidupnya hingga hari kebangkitan, untuk menggoda dan menjerumuskan Bani Adam. Tapi pengabulan pinta itu, tidak menyebabkan kedekatan Allah kepada iblis. Yang ada, justru penjauhan dan penambahan kemurkaan kepada iblis.

Siapapun yang meminta kepada Allah swt pasti dikabulkan dengan cara yang Allah kehendaki. Pasti. “Berdo’alah kepada Allah, sedangkan kalian yakin bahwa do’a itu pasti akan dikabulkan. Ketahuilah bahwa Allah tidak menyambut do’a dari hati orang yang lalai,” demikian pesan Rasul saw dalam hadits shahih.

Saudaraku,
Pengabulan do’a, bukan semata karena kemuliaan orang yang meminta. Allah akan mengabulkan permintaan seorang hamba untuk memenuhi hajatnya, namun belum tentu pengabulan itu berarti Allah swt ridha dan mendekatkan si pendo’a menjadi lebih tunduk dan dekat kepada-Nya. Boleh jadi, pengabulan do’a itu justru menambah jarak antara dirinya dengan Allah swt.

Sementara di kempatan lain, Allah menahan pengabulan do’a seseorang bukan karena Dia tidak ridha dan benci, tapi bisa saja karena kecintaan dan kemuliaan si peminta. Sehingga Allah melindungi, memelihara dan menahan permintaan yang bisa menjerumuskannya pada jurang ketidakridahaan-Nya. Sebagian orang ada yang menyangka Allah tidak kunjung mengabulkan do’a karena Allah tidak mencintai, tidak memuliakan, membiarkan mereka, karena ada orang lain yang dikabulkan do’anya oleh Allah.

Saudaraku,
Berhati-hatilah dari permintaan kepada Allah swt tentang sesuatu yang kita tentukan, tapi tanpa kita mengetahui apa akibatnya, bila pinta itu dikabulkan oleh Allah. Syaikh Khalid Ar Rasyid mengatakan, “Jika kita harus meminta sesuatu yang tertentu, mintalah kepada Allah dengan tetap menggantungkan pinta itu dengan kata-kata ‘kebaikan menurut Allah swt’,” Maksudnya, bukan hanya ‘kebaikan versi kita’. Karena kebaikan versi kita, belum tentu kebaikan menurut Allah. Ada permintaan yang dalam anggapan kita baik, tapi kita tidak pernah tahu hakikatnya jika pinta itu dikabulkan. Hanya Allah swt saja yang Maha Mengetahui yang baik.

Saudaraku,
Mari perhatikan nasihat Ibnu Atha tentang rahasia do’a yang baik untuk kita tunaikan. Ia mengatakan, “Do’a itu mempunyai tiang, sayap, sebab dan waktu. Jika tiangnya dibangun, do’a menjadi kokoh. Jika sayapnya tumbuh, do’a akan bisa naik ke atas langit. Jika waktunya terpenuhi, do’a itu akan menang. Jika sebab-sebanya dilaksanakan, do’a itu akan berhasil dikabulkan. Tiang-tiang do’a itu adalah konsentrasi hati, kelembutan, ketenangan, khuyuk di hadapan Yang Maha Mengetahui yang ghaib. Sayap do’a itu, tulus dan jujur kepada Allah. Waktu do’a itu adalah waktu sahur. Sebab dikabulkannya do’a itu adalah shalawat kepada Rasulullah saw.”

Tunggu apa lagi saudaraku,
Sekarang juga, banyaklah berdo’a dan jangan bosan. Rasulullah saw mengatakan, “Sungguh orang yang paling lemah adalah yang lemah dalam berdo’a.” (Shahih Ibnu Hibban)

Sungguh luar biasa kasih sayang dan dekatnya Allah swt kepada kita....

Sampai Kapan Menunda Taubat?

Dengarlah saudaraku,
Allah swt telah memanggil kita: “Wahai hamba-Ku yang melampaui batas atas diri mereka, jangan putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang...’ Rasakanlah dalam-dalam bagaimana nuansa kasih dan sayang Allah swt dalam firman-Nya tersebut...

Lalu,
Mengapa kita tidak juga mau segera kembali kepada Allah swt? Padahal Rasulullah saw telah mengabari kita betapa kegembiraan Allah swt menerima taubat hamba-Nya. “Allah lebih senang dengan taubat hambaNya dari pada orang yang kehilangan hewan yang dikendarainya saat berada di tanah yang tandus. Orang itu mencari kendaraan hewannya padahal di sanalah makanan dan minumannya. Hingga ia putus asa mencarinya dan berbaring di bawah pohon. Namun tiba-tiba hewan kendaraannya telah berada di sisinya. Ia lalu mengambil tali kekang hewannya dan mengatakan, “Ya Allah,Engkau hambaku dan aku tuhanmu,” orang itu keliru mengatakannya karena terlalu gembira.” (HR.Muslim ) Lihatlah kegembiraan dan kesenangan Allah swt menerima kita...Jika kita bertaubat..

Saudaraku,
Seperti itulah ungkapan Al Qur ’an, hadits yang menyeru kita untuk bertaubat dan kembali kepada Allah swt.Sampai kapan kita menunda dan mengakhirkan taubat? Padahal kematian selalu datang tiba-tiba dan ketika itu tak ada lagi kesempatan untuk menabung amal shalih dan membersihkan diri. Mungkinkah kita menunggu kematian itu? Apa yang kita tunggu, Jika kita tahu bahwa rahmat Allah swt melampaui dosa yang pernah dilakukan oleh orang yang membunuh seratus jiwa. Jika rahmat Allah lebih luas dan tinggi dari dosa seorang pelacur lalu memberi minum seekor anjing karena Allah. Apakah rahmat Allah swt tidak bisa menerima dosa-dosa yang kita lakukan, padahal Dia adalah Rabb Yang telah menyatakan Dirinya dengan sifat Maha Pengampun, Maha Pemaaf, Maha Penerima Taubat. Jika kita telah mengetahui fakta ampunan yang Allah swt berikan untuk mereka, apakah rahmat Allah menjadi sempit mengampuni dosa-dosa kita? Padahal Allah swt dalam hadits qudsi berfirman, “Jika kalian tidak melakukan dosa, niscaya Allah akan mendatangkan kaum selain kalian, lalu kalian berdosa dan memohon ampun kepada Allah, kemudian Allah swt memberi ampunan kepada mereka.” Perhatikanlah juga bagaimana keluasan rahmat Allah swt dalam hadits qudsi yang lain, “Wahai ibnu Adam,jika dosamu mencapai ketinggian langit kemudian engkau datang
kepada-Ku dengan tidak menyekutukan-Ku, Aku ampuni engkau seberapa banyakpun dosamu dan Aku tidak peduli. Wahai Ibnu Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, niscaya Aku datangi engkau dengan sepenuh bumi ampunan. Wahai Ibnu Adam, jika engkau menyeru dan meminta-Ku,Aku ampuni kesalahanmu dan Aku tidak peduli.”(HR.Tur udzi)

Saudaraku,
Jika kita menganggap Allah swt adalah kekasih kita, ketahuilah bahwa Dia menunggu kedatangan kita hari-hari ini, di bulan ini. Allah swt menanti kita datang dan bersimpuh ke hadapan-Nya. Mari dengarkanlah apa yang difirmankan-Nya, “Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta. Jika hamba-Ku mendekat kepadaku satu hasta, Aku akan mendekat kepada-Nya satu depa. Jika hamba-Ku mendatangiku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari. (HR.Bukhari) Perhatikanlah lagi dengan seksama dan mendalam saudaraku. Betapa kasih sayangnya Allah swt kepada kita...

Saudaraku,
Bahkan, barangkali kita tidak mengetahui keluasan ampunan Allah swt mencakup dosa yang dilakukan berulang-ulang. Dengarlah bagaimana firman Allah swt dalam hadits qudsi. “Seorang hamba melakukan dosa dan mengatakan, “Ya Tuhan aku telah berdosa, ampunilah aku.. ”Maka Allah swt berfirman, “Hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Rabb Yang mengampunkan dosa dan menghitung dosanya. Aku bersaksi pada kalian (para Malaikat) bahwa Aku telah mengampuninya.” Tapi kemudian hamba itu melakukan dosa kembali dan mengatakan seperti yang dikatakannya semula. Maka Allah swt menjawabnya dengan jawaban yang sama. Hingga keempat kali kondisi itu berulang, Allah swt berfirman, “Tulislah oleh kalian (para Malaikat), bagi hamba-Ku ampunan yang tidak pernah hapus. Maka biarkanlah hamba-Ku melakukan apa yang ia inginkan.” (HR.Bukhari)

Jangan terkejut dulu saudaraku. Karena hadits ini pasti ini bukan sama sekali menganjurkan kita berulang melakukan dosa dan kemaksiatan. Bukan sama sekali meremehkan kadar dosa dan maksiat kepada Allah swt. Tapi hadits ini lebih menerangkan masalah hati yang selalu gelisah atas dosa dan selalu kembali bertaubat atas penyimpangannya. Sedangkan orang yang hatinya tidak tenang dengan dosa dan selalu bertaubat, tidak akan melakukan dosa berulang-ulang. Itulah esensi makna yang dikandung dalam hadits tersebut.

Saudaraku,
Hari-hari ini, adalah hari-hari sangat istimewa. Saat pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup. Ketika rahmat Allah swt tercurah luar biasa kepada hamba-hamba-Nya di bulan ini. Bulan yang nilainya tak mungkin terbayar dengan seluruh usia kita di dunia. Mari sama-sama taubat saudaraku. Tengadahkan tangan kita di malam ini. Ketuk pintu rahmat-Nya dan pinta ampunan-Nya. Bayangkanlah, Allah swt begitu bergembira menerima kehadiran kita....

Kunci Sukses

IKHLAS
Dinukil dari Kitab Tazkiyatun Nafus/Imam al-Ghazaliy
Terjemah Oleh Ahmad Jumradhian, S.S.I

Ikhlas memiliki beberapa definisi, diantaranya adalah :
1.Mengkhususkan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam setiap amal perbuatan
2.Menjadikan Allah SWT satu – satunya tujuan ketika beribadah
3.Mengacuhkan pandangan makhluk lain dengan senantiasa menglihat Allah SWT
Berbuat ikhlas adalah syarat diterimanya perbuatan shalih yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, dan Allah SWT telah memerintahkan kita untuk berbuat dengan ikhlas, Allah SWT berfirman :
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus".
Dan di riwayatkan oleh Abi Amamah RA berkata : “Telah datang seorang pemuda kepada Rasulullah SAW kemudian berkata : apa pendapat anda tentang seorang pemuda yang pergi berperang agar mendapatkan imbalan ( ghanimah ) dan di sebut kedermawanannya?, maka Rasulullah SAW berkata : tidaklah ia mendapatkan sesuatupun (Pahala), maka pemuda itu mengulanginya hingga tiga kali dan Rasulullah SAW berkata :tidaklah ia mendapatkan sesuatupun, kemudian berkata : “Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima amal seseorang kecuali yang dilakukan dengan ikhlas dan niat mengharap keridhoan Allah SWT”. Diriwayatkan oleh Abu Daud dan an-Nasai dengan sanad yang baik.
Dan diriwayatkan oleh Abi Said al-Khudriy RA dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda ketika melaksanakan haji wada’ : “ Allah SWT menjadikan baik seseorang mendengarkan perkataanku maka perhatikanlah, maka kerap kali orang yang membawa fiqih namun bukanlah seorang yang faqih, 3 hal yang menjaga hati orang beriman dari sifat "الغلّ" (Dendam/Permusuhan) yaitu: Ikhlas beramal karena Allah SWT, Mendengarkan nasihat dari Imam-imam orang muslimin, dan konsisten melaksanakan sholat berjama’ah”
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan sanad yang baik dan Ibnu Hibban menshahihkan hadist tersebut.
Maknanya tiga hal tersebut diatas dapat memperbaiki hati, maka barang siapa berakhlak dengan ketiga sifat tersebut akan bersih hatinya dari sifat khianat dan dendam dan buruk.
Dan tidaklah seseorang terlepas dari jeratan syaitan kecuali dengan bersifat ikhlas, sebagaimana firman Allah SWT:
"kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka".
Dan diriwayatkan bahwa salah seorang hamba shalih pernah berkata kepada dirinya: “Wahai jiwa berbuat ikhlaslah, maka kamu akan terlepas”
Dan setiap kesenangan dari kesenangan-kesenangan dunia itu mengistirahatkan jiwa dan mencondongkan hati baik sedikit maupun banyak, dan ketika diejawantahkan dalam perbuatan ia akan memperkeruh kejernihannya dan hilang keikhlasannya, dan manusia akan terikat dalam kesenangan tersebut dan tenggelam dalam syahwat, sedikit sekali dari manusia yang perbuatannya dan ibadahnya terbebas dari kesenangan-kesenangan dan tujuan yang terburu-buru. Maka dari itu ada yang bilang barang siapa pernah sekali saja dalam hidupnya berbuat ikhlas karena mengharapkan Allah SWT maka ia sukses, dan itu karena sebab kemuliaan berbuat ikhlas. Dan sulitnya menjaga hati dari kotoran-kotoran mengganggu. Maka Ikhlas adalah membersihkan hati dari seluruh kotoran tersebut sedikit maupun banyak, sehingga tujuan di hatinya bersih dan tidak ada motif dan tujuan selainnya, dan itu tidak terlihat kecuali dari kecintaannya kepada Allah SWT dan besarnya cemasan kepada akhirat, sehingga tidak terdapat lagi tempat dihatinya untuk mencintai dunia, seandainya dia makan, minum atau membuang hajat maka ia lakukan dengan ikhlas dan niat yang benar. Dan orang yang tidak ikhlas dalam beramal maka sifat ikhlas itu tertutup baginya kecuali sedikit sekali.
Dan sebagaimana orang yang memenangkan cintanya kepada Allah SWT dan akhirat maka seluruh geraknya berangkat dari kecemasannya terhadap akhirat maka perbuatannya menjadi ikhlas. Sedangkan orang yang memenangkan dunia atas dirinya, jabatan dan kedudukan dan hal-hal lain selain Allah SWT, maka seluruh gerak dan perbuatannya membuatnya bersifat seperti itu, maka tidak diterima ibadahnya, puasanya, sholatnya dan yang lainnya kecuali sedikit sekali.
Maka sesungguhnya obat ikhlas adalah membuang kesenangan dan ketamakan diri terhadap dunia serta memikirkan akhirat, sehingga ia menguasai hatinya, maka jika ia dapat melakukan yang demikian akan mudah memperoleh ikhlas. Dan berapa banyak dari manusia yang bersusah payah melakukan sesuatu perbuatan dan ia mengira bahwa perbuatannya karena Allah SWT dan ia dalam hal itu adalah orang-orang yang terkecoh dan tertipu karena ia tidak mengharap Allah SWT.

Biarkanlah Teguran itu Datang

Khudzaifah bin Al Yaman ra dalam suatu kesempatan, mendatangi sahabatnya, Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra.Tidak seperti biasanya, Khudzaifah yang juga disebut shahibus sirri (penyimpan rahasia) Rasulullah saw itu mendapati Umar dengan raut muka yang muram,penuh kesedihan. Ia bertanya, “Apa yang sedang engkau pikirkan wahai Amirul Mukminin?”

Saudaraku,
Jawaban Umar sama sekali tidak terduga. Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyak masalah rakyat yang sudah pasti membuatnya letih. Kali ini, Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi dirinya sendiri. “Aku sedang takut bila aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang melarangku melakukannya karena segan dan rasa hormatnya kepadaku,” ujar Umar pelan. Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu, wajah Umar bin Khattab berubah senang. “Alhamdulillah Yang menjadikan untukku sahabat-sahabat yang siap meluruskanku jika aku menyimpang,” katanya.

Seperti itulah Umar. Jika banyak orang gusar dan marah mendapat teguran atas kesalahan yang dilakukannya. Tapi ia justru menginginkan teguran. Khalifah kedua setelah Abu Bakar ra itu justru ingin kesalahannya diketahui orang lain, untuk kemudian ditegur dan diluruskan. Subhanallah....

Saudaraku,
Berterus terang kepada diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan bukan hal mudah. Terlebih mengaku berterus terang kepada orang lain dan menerima kesalahan yang dilakukan. Lebih sulit lagi, menerima teguran orang lain atas kesalahan. Tapi sebenarnya, teguran atas kesalahan itu kita perlukan.Al-Qur ’an memberi banyak ilustrasi tentang ajakan bermuhasabah, mengevaluasi diri dan teguran langsung atas kesalahan. Metode muhasabah dan teguran yang ada dalam ayat-ayat Al Qur ’an, mengajak kita mau mengakui semua perbuatan dengan jujur dan tulus. Agar kita terbiasa berterus terang mengungkap berbagai kesalahan kepada diri sendiri. Memeriksa noda-noda kesalahan dan kekeliruan yang ada lalu mengakuinya. Bukan untuk membesar-besarkan kesalahan dan membuat diri menjadi gelisah, tetapi agar kita mengetahui kadar kebaikan dan keburukannya. Inilah makna yang dimaksud dalam perkataan Said bin Jubair saat ia ditanya, “Siapakah orang yang paling hebat ibadahnya?” Ia menjawab, “Orang yang merasa terluka karena dosa dan jika ia ingat dosanya ia memandang kecil amal perbuatannya.” (Az Zuhdu, Imam Ahmad, 387)

Saudaraku,
Perhatikanlah bagaimana para sahabat radhiallahu anhum dalam Perang Uhud mendapat teguran langsung dari Allah swt, saat mereka terluka dan mengalami situasi tertekan dan sulit.Ketika itu turun firman
Allah swt, “Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kalian pada hari bertemu dua pasukan itu, mereka digelincirkan oleh setan karena sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau). Dan sesungguhnya Allah telah mengampuni mereka...” (QS.Ali Imran 155). Lihatlah juga di saat bagaimana Allah swt menegur langsung mereka dalam firman-Nya surat Ali Imran ayat 165. “...Kalian berkata: “Dari mana datangnya kekalahan ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Perhatikanlah bagaimana
Allah swt menegur para sahabat dalam peperangan Hunain.“...Dan (ingatlah) peperangan Hunain, di waktu kalian menjadi sombong karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun...” (QS.At Taubah :25)

Maksud teguran langsung tersebut adalah membangkitkan suasana muhasabah, mengangkat kejujuran dan keterbukaan yang bisa menjadikan seseorang mampu mengambil pelajaran dari kekeliruan dan kesalahannya. Musharahah atau keterusterangan untuk mengakui kesalahan adalah langkah paling awal untuk memulai perbaikan.

Saudaraku,
Teguran itu pahit. Tapi cobalah lebih jauh merenungi, pentingnya teguran atas kesalahan. Ustadz Abdul Hamid Al Bilali, dalam Waahaat Al Iiman, menguraikan banyak hal tentang akibat dosa dan kesalahan yang terus menerus dilakukan karena tidak mendapat teguran. Menurutnya, akibat kesalahan yang dilakukan terus menerus adalah sikap tidak merasa berdosa dan tidak merasa bersalah. Perasaan tidak bersalah dan tidak berdosa itu sendiri, bisa disebabkan kondisi akrab dengan dosa tertentu yang terlalu sering dikerjakan. Situasi seperti inilah yang paling ditakutkan Al Hasan Az Zayyat rahimahullah. Ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak peduli dengan banyaknya kemungkaran dan dosa. Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa. Sebab jika sesuatu dikerjakan dengan rutin, maka jiwa menjadi akrab dengannya dan jika demikian, jiwa menjadi tidak memiliki kepekaan lagi.” (Tanbiihu Al Ghafiliin,93) Bagi Al Hasan, kesalahan dan dosa itu masih bisa dianggap kewajaran lantaran manusia memang pasti melakukan salah dan dosa. Yang ia khawatirkan justru ketika kesalahan dan dosa itu tidak dapat dihentikan, dilakukan terus menerus, lalu jiwa menjadi tidak sensitif terhadap kesalahan dan dosa itu. Juga, ketika dosa dan kesalahan tak terhenti karena tak mau menerima teguran yang bisa menyadarkan. Dan, ketika dosa dan kesalahan terlalu sering dilakukan karena tak ada nasihat serta teguran
yang bisa menghentak diri dari kelalaian. Ada lagi akibat dosa yang lebih berbahaya dari kondisi itu. Yakni perasaan aman dan tidak mendapatkan hukuman dari berbagai dosa yang dilakukan. Artinya, seseorang bukan saja tidak menyadari dosa yang dilakukan, tapi lebih dari itu, merasa tenteram dan aman dari hukuman yang Allah swt berikan.

Saudaraku,
Camkanlah nasihat yang dituturkan Imam Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khatir, “Ketahuilah, ujian paling besar bagi seseorang adalah merasa aman dan tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakkan hati hingga tak bisa menentukan pilihan yang baik. Dan, di antara efek hukuman ini adalah seseorang tetap melakukan dosa sedangkan tubuh segar bugar dan seluruh keinginannya tercapai.” (Shaidul Khatir, 169)

Renungkanlah, kalimat terakhir dari nasihat Ibnul Jauzi ini...

Berharap Apa Kita, Saat itu?

Keinginan dan harapan, bukan hanya milik orang-orang yang masih hidup. Keinginan dan harapan juga milik mereka yang telah mati. Jika Rasulullah saw menjelaskan, keinginan orang-orang shalih di alam kubur, adalah kembali ke keluarga untuk menyampaikan berita gembira, maka keinginan orang-orang durhaka juga ingin dikembalikan hidup di dunia. Namun misi yang mereka inginkan di dunia tidak sama. Meski kedua-duanya juga tak bisa memenuhi keinginan dan harapan mereka. Perbedaannya jelas. Orang-orang shalih, sangat gembira dan ingin menyampaikan kegembiraannya kepada keluarganya di dunia. Tapi orang-orang durhaka, justru dalam suasana duka tak terperi hingga ia ingin dikembalikan ke dunia untuk melakukan amal-amal yang bisa memberinya sejumput pahala dari Allah swt. Mereka banyak menyepelekan hak-hak Allah, melewati hidup dalam kesia-siaan dan kelalaian, menunda-nunda taubat sambil berharap agar usianya terus memanjang. Di dalam kuburlah mereka meratapi amalnya dan menangisi apa yang telah lalu. Dan di sana iamenyampaikan harap kepada Allah swt.

Saudaraku yang tak pernah luput dari kasih sayang Allah,
Ayat-ayat Al Quran dan hadits Rasulullah saw menuturkan kepada kita bagaimana keinginan mereka saat ada di alam akhirat. Salah satu keinginan mereka adalah, keinginan mendirikan shalat, meski hanya dua rakaat. Ini dijelaskan oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu yang meriwayatkan hadits Rasulullah saw saat melewati sebuah makam. “Siapakah yang dikubur di sini?” tanya Rasul saw. Para sahabat menjawab, “Ini kuburan fulan.” Rasul saw mengatakan, “Shalat dua rakaat lebih diinginkan oleh penghuni kubur ini ketimbang apa yang tersisa dari dunia kalian.”

Itulah salah satu puncak keinginan orang yang telah meninggal namun banyak melalaikan Allah. Ia sangat mendambakan ruku dalam dua rakaat shalat. Ia begitu berharap bisa menambah timbangan kebaikannya. Ia menentukan keinginannya secara spesifik untuk memperoleh pahala shalat. Karena ia telah
melihat langsung apa manfaat shalat. Kemudian menjadi sangat berduka melewati hari-hari tanpa shalat. Ia ingin kembali ke dunia, hanya beberapa detik untuk bisa ruku. Tidak ada keinginan dunia apapun, hanya ingin dua rakaat.

Saudaraku,
Harapan dan keinginan lain dari orang-orang yang telah wafat dalam kelalaian adalah, shadaqah. Ya, mereka ingin kembali ke dunia beberapa saat saja untuk bisa bershadaqah. Harapan mereka tercantum dalam firman Allah swt dalam surat Al Munafiqun ayat 10-11: “Berinfaqlah kalian dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian, sebelum datang pada salah seorang kalian dan ia mengatakan: “Ya Tuhan-ku seandainya Engkau tunda kematianku sebentar saja, agar aku bisa bershadaqah dan menjadi orang shalih....”
Mereka sadar, shadaqah adalah amal yang paling dicintai Allah swt.Shadaqah jugalah yang mampu mematikan kemarahan Allah swt. Mereka ingin kembali hidup, karena mereka tahu nilai shadaqah yang bisa dibanggakan dari amal-amal lainnya. Mereka sudah tahu betapa besar nilai dan pahala shadaqah, dan betapa besar kerugian orang yang melalaikannya. Tapi, lagi-lagi harapan itu tak mungkin membuka kesempatan. Semua telah lewat. Karena itulah mereka memendam keinginan untuk kembali ke dunia dan bershadaqah, lantaran sebelumnya mereka lebih banyak membelanjakan harta untuk kepuasan nafsu.

Saudaraku,
Keinginan ketiga yang diucapkan oleh orang-orang lalai dan telah wafat adalah, kembali ke dunia untuk menjadi orang-orang shalih. Mereka ingin melakukan amal shalih, taat kepada Allah, berdzikir kepada Allah meskipun satu kalimat. Mereka sangat ingin mengucapkan tasbih meski satu kali, mengeluarkan kalimat tauhid Laa ilaaha illallah meski satu kali. Simaklah bagaimana firman Allah swt tentang harapan mereka, “Sampai ketika salah seorang mereka didatangkan kematian, ia berkata, “Ya Tuhanku kembalikanlah aku untuk bisa beramal shalih terhadap apa yang aku tinggalkan...“ (QS.Al Muminun :99 -100).

Orang-orang yang telah mati, kesempatan mereka telah habis.Mereka berada di alam yang lain, alam akhirat. Di sanalah mereka mengetahui apa yang mereka terima dari amal-amal mereka di dunia. Di sanalah mereka mengetahui penyesalan tak terkatakan dari menyia-nyiakan waktu. Mereka menyadari bahwa waktu tak mungkin dibeli dengan seluruh harta dunia apapun. Karena itulah mereka sangat mengangankan satu amal shalih sedikit saja untuk bisa mengambil pahala dari amal itu.

Saudaraku,
Berpikirlah dan merenunglah tentang perjalanan ini.Sebagaimana inti wasiat Rasulullah tentang hidup dan mati yang terdapat dalam do ’a yang diucapkan setelah kita tidur. “Jika salah seorang kalian bangun dari tidur, katakanlah: “Alhamdulillah yang telah mengembalikan ruhku kepadaku ,menyehatkan tubuh-ku dan mengizinkan aku untuk berdzikir kepada-Nya.”(HR.Turmudzi)

Saudaraku,
Suatu saat,bila kita mengiringi janazah atau melakukan ziarah kubur. Diamlah dan jangan banyak bicara. Berhentilah di sisi sebuah kuburan. Resapilah bagaimana kesempitan liang lahat. Bayangkanlah bila kita berada di dalamnya. Tatkala semua pintu tertutup, tak ada tempat berlari,lalu gundukan tanah yang menimbun di atasnya. Tak ada keluarga, tak ada sahabat. Gelap, sunyi senyap dan mengerikan. Tak ada yang bisa kita dapatkan di dalamnya kecuali amal yang kita lakukan. Renungkanlah, berharap apa kita saat itu?
Mari tanamkan tekad untuk lebih banyak memanfaatkan kesempatan dengan berdzikir pada Allah. Bila tercetus dalam benak dan hati untuk melanggar perintah Allah, ingatlah apa harapan dan keinginan orang-orang yang telah meninggalkan kehidupan ini. Saat kita dibelenggu rasa malas melakukan amal shalih, ingatlah, apa harapan dan keinginan orang-orang yang telah mati. Mereka sangat ingin kembali dan melewati hidup sejenak dalam taat kepada Allah. Segala puji dan syukur hanya untuk Allah swt, karena kita saat ini masih merasakan nikmat hidup. Kita ingin, jika jenak kehidupan ini menjadi penuh nilai dengan memperbanyak ketaatan. Kita pasti berharap, jika rentang perjalanan hidup di dunia ini, jamnya, menitnya, detiknya, adalah ketaatan kepada Allah swt. Sehingga kita bisa berharap kebahagiaandi awal memasuki kesendirian di liang kubur....