Memberi yang Kita Butuhkan

Saudaraku,
Sulit memahami sikap-sikap mulia para sahabat dan salafushalih. Ada banyak bentuk pengorbanan yang mereka lakukan untuk kepentingan orang, tapi sangat sukar dicerna oleh logika keduniaan dan kemanusiaan kita. Bayangkanlah apa yang dilakukan seorang sahabat Anshar untuk memuliakan seorang tamu yang sama sekali tidak begitu ia kenal sebelumnya. Ketika suatu hari ada sesorang mendatangi Rasulullah saw namun Rasul tidak memiliki makanan apapun untuk dihidangkan. “Siapa yang bisa memberi hidangan kepadanya?” tanya Rasulullah kepada para sahabatnya. Serta merta seorang sahabat Anshar langsung menyambutnya. “Saya ya Rasulullah,” katanya.

Tahukah kita, bila sebenarnya kondisi sahabat Anshar itu pun tak mempunyai makanan apapun, kecuali makanan untuk anak-anaknya? Karena ketika ia pulang ke rumahnya dan menceritakan masalah itu kepada isterinya. Sang isteri lalu mengatakan lirih, “Kita tidak mempunyai apa-apa untuk tamu itu, kecuali makanan untuk anak kita.”

Apa sikap sahabat Anshar yang sulit dicerna oleh logika kita itu? Lihatlah, bagaimana ketulusan sahabat untuk memuliakan sang tamu yang luar biasa. Ia menginstruksikan isterinya untuk menghidangkan apapun makanan yang mereka punya, mematikan lampu rumah dan menidurkan anaknya kelaparan jika bangun ingin makan malam. Saat sang tamu datang, rumahnya gelap dan tuan rumah menawarkan sang tamu untuk makan bersama. Ia sengaja mematikan lampu, agar tampak sepertinya ia mendampingi sang tamu makan pada malam itu. Padahal ia sekeluarga, melewati dingin sepanjang malam tidak makan dan menahan lapar. Ketika Rasulullah saw mendengar sikap sahabat Anshar itu, ia tersenyum dan mengatakan, “Allah swt tertawa pada malam itu. Dia kagum dengan apa yang kalian berdua lakukan itu.”

Bagaimana logika kita memaknai sikap seperti ini saudaraku? Seperti itulah bentuk pengorbanan yang dicontohkan para sahabat radhiallahu anhum. Kita memang sulit menafsirkan cara berfikir mereka yang mengorbankan kebutuhan pribadi dan keluarga, hanya untuk seorang tamu. Itu karena kita mungkin lebih sering berfikir dengan naluri pertimbangan keduniaan ketimbang pertimbangan keakhiratan. Kita mungkin lebih sering menimbang masalah dari sudut kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam pikiran kita, tapi lebih mengecilkan peran-peran Allah swt. Kita mungkin lebih banyak menggunakan logika soal batas kemampuan kita dalam melakukan ketaatan, padahal Allah swt pasti menyediakan kemampuan manusia untuk melakukan apapun untuk taat kepada-Nya.

Saudaraku,
Sikap sahabat Anshar itulah yang kemudian membuat Allah tertawa karena takjub terhadap ketulusan dan kebaikan hamba-Nya. Bayangkanlah, Allah tertawa karena takjub terhadap sikap hamba-Nya.

Saudaraku,
Sahabat dari kalangan Anshar memang memiliki banyak keistimewaan, salah satunya adalah sikap mereka yang sangat mementingkan kepentingan orang lain ketimbang diri mereka sendiri. Mereka jalani pengorbanan-pengorbanan besar seperti itu dengan hati lapang, tentram, tenang. Syaikh As-Sadiy rahimahullah, dalam tafsirnya mengatakan, “Lebih mengutamakan orang lain, adalah salah satu kelebihan sifat kaum Anshar ketimbang yang lainnya. Kaum Anshar memiliki sifar lebih mendahului orang lain dalam hal harta dan lainnya, padahal mereka sendiri sedang membutuhkannya. Sekalipun mereka dalam tingkat darurat dan mendesak untuk kebutuhan itu.” (Tafsir As Sadiy, Taysir fi Tafsir Kalam Al Manan, 1025).

Renungkanlah sikap seorang sahabat yang sangat ingin berderma dan membantu orang lain, namun ia tak memiliki harta. Ya Rasulullah, katanya suatu ketika. “Aku benar-benar tidak mempunyai harta untuk disedekahkan pada orang lain. Tapi aku telah bersedekah untuk mereka dengan kehormatanku. Jika ada orang yang memukul atau menuduhku, ia tetap bebas dariku.” Sampai-sampai Rasulullah saw bersabda, “Siapa diantara kalian yang bisa berlaku seperti Abu Dhamdham, maka lakukanlah.”

Saudaraku,
Tidak heran jika banyak dianara para sahabat itu yang rela gugur syahid di medan peperangan, yang artinya sama dengan menyerahkan nyawa untuk agama dan kemuliaan umatnya. Tidak heran jika salah satu syiar hidup yang mereka jadikan pegangan adalah syair, “In lam yakun bika alayya ghadab, falaa ubaalii.” “Ya Allah, selama Engkau tidak murka kepadaku, maka apapun yang kualami, aku tidak peduli.” Mereka juga begitu menghayati prinsip hidup sebgaimana bunyi syair, “Idzaa aradta an tas’ada fi asadil akharin,” “ jika engkau meraih bahagia, bahagiakanlah orang lain.”

Merka bisa memilih dan menempatkan sikap yang tepat. Jika mereka menginginkan ridha Allah, maka mereka akan mengabaikan apapun keridhaan yang lainnya yang menghalangi mereka untuk meraih ridha Allah. Jika mereka meraih kebahagiaan akhirat, mereka akan membuang keinginan kebahagiaan semu yang bisa menjauhkannya dari keinginan bahagia di akhirat. Jika mereka ingin menapaki jalan yang bisa mengantarkan mereka pada surga, maka mereka akan menutup semua pintu yang bisa mengarahkannya pada jalan selain surga. Seperti yang pernah dikatakan orang shalih, “Jika manusia takut pada neraka sebagaimana ia takut pada kemiskinan, niscaya ia akan selamat dari keduanya. Kalau ia menginginkan surga sebagaimana ia menginginkan kekayaan, niscaya ia akan mendapatkan keduanya. Dan jika ia takut pada Allah dalam hatinya sebagaimana ia takut pada Allah dalam perilakunya secara lahir, niscaya ia akan bahagia di dunia dan di akhirat.”

Mereka adalah orang-orang yang sangat peka pada peran-peran yang harus dilakukannya untuk orang lain. Mereka tetap bisa meraba sesuatu sebagai nikmat Allah swt di saat orang lain menganggap sesuatu itu bukan nikmat Allah swt. Seorang murid dari ulama terkenal, Fudhail bin Iyadh rahimahullah, bercerita, “Aku pernah bersama sorang yang alim, Fudhail bin Iyadh. Suatu ketika ada seseorang yang datang dan meminta uang darinya berulang kali. Aku mengatakan pada orang itu, ‘Pergilah! Jangan ganggu syaikh.’ Tapi Fudhail malah mengatakan, ‘Diamlah, tidakkah engkau tahu bahwa kebutuhan orang kepada kamu itu adalah nikmat Allah kepadamu. Hati-hatilah kalian jika kalian tidak bersyukur terhadap nikmat Allah lalu berubah menjadi bencana. Tidakkah engkau justru memuji Allah karena masih ada orang yang meminta kepadamu?”

Saudaraku,
Coba kita lakukan, ikhlas dan tulus memberi orang lain dengan sesuatu yang kita butuhkan, demi menutupi kebutuhan orang itu. Bagaimana rasanya saudaraku?_

Post a Comment